Formulir Kontak

 

Puisi



Cinta Dua Angka

kalender merah jambu, siapa tak tau?
14 Februari tempo dulu
membekas sebuah senyuman manis pilu
tak terhitung jumlah hari terlewati detik ini

semenjak masa daun beraroma hijau menjadi saksi
tanah lapang tersenyum hangat
ditemani coklat juga mawar putih yang menjadi lagu
kata indah mengalir di relungku

tapi, bak bunga
cinta yang kau tanam ikut berguguran dan layu, mulut manis
dan kini tinggal kebisuan
Padang, 04 Maret 2013

Tajam

Tajam mana pisau atau penghianatan?
ah, bagiku pilihan kedua
bukan aku tak takut teriris
tapi luka di hati akan lama

seperti juga kini
hendak menatap “namanya” saja aku tak bernyali
bukan karena takut
Tapi,
Ah aku benci pengkhiatan!
Padang, 04 Maret 2013

Total comment

Author

Triana Irsyad


sumber foto: www.indonesia.travel

Udara pagi yang begitu dingin membuatku urung untuk bangkit dari tempat tidur yang  nyaman ini. Alarm sudah untuk yang ketiga kalinya aku set ulang. Oh tidak, kenapa hari ini begitu dingin tidak seperti biasanya.
“T.O, bangun,,bangun” suara Suci membangunkanku, selimut yang tadi kupakai untuk menutupi seluruh badan hingga muka perlahan terbuka dan lagi-lagi dingin itu menusuk ke tulang-tulang.
O iya, sekarang aku berada di Kota Bukittinggi, daerah perbukitan yang di kenal dengan lambang Jam Gadang (jam besar) yang merupakan salah satu kota andalan di Sumatra Barat. Aku langsung bangkit dan mengambil baju dinas yang tergantung. Ini adalah hari pertamaku dinas dalam rangka Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Rumah Sakit Achmad Mochtar (RSAM) Bukittinggi.
“Ya Tuhan, ternyata untuk mandi harus antrian,” gumamku. Dikarenakan kami berjumlah dua belas orang di kosan ini. Setelah mengantri akhirnya giliranku. Aku yang tidak terbiasa di daerah dingin begitu menggigil walaupun baju dinas putih-putih telah melekat di badan sedari tadi. Saatnya berangkat.
“Teman-teman, pin kampus sama papan nama gak lupa kan?” ujar Puja mengingatkan
“Sip,” kami hampir menjawab serentak
Langkah kecil kaki kami menuju ruang instalasi gizi RSAM, kami masih berdiri gak jelas karena ibu yang menyambut kedatangan kami sedang upacara, kebetulan itu adalah hari senen.
“Oke, selamat datang sekarang kita ke ruang pertemuan untuk melaksanakan acara penyambutan kalian oleh bagian SDM (Sumber Daya Manusia).” Salah seorang pihak rumah sakit menuntun kami.
Di ruang itu kami di bekali informasi tentang segala yang berkaitan dengan Rumah sakit baik itu fasilitas, ruangan rawat inap, dan struktur rumah sakit tersebut. Setelah itu kami di suruh masuk ke ruang instalasi gizi. Disana kami juga mendapatkan informasi lagi serta ilmu seperti halnya di kampus dan bahkan ilmu yang belum pernah kami dapatkan sebelumnya, itu di berikan oleh instruktur ruang instalsi gizi RSAM.
“Baiklah, mungkin sampai disitu dulu materi kita, jadwal untuk kalian sudah di buatkan jadi kalian dapat mulai ke ruang masing-masing dan sebelumnya kita akan datang ke seluruh ruangan tempat kalian praktek nanti sebagai perkenalan awal.” ujar instruktur yang di wakilkan oleh ibu Lina ketika itu. Kamipun menuju ruang-ruang yang disebutkan, ada ruang penerimaan bahan, ruang penyimpanan, ruang pertemuan, ruang pengolahan dan banyak lagi.
Jadi mulai hari ini kami di hadapkan pada rutinitas baru. Mulai dari kosan, berjalan kaki menuju rumah sakit, lalu ke ruang instalasi untuk menandatangani absen dan ke ruang dimana kami ditempatkan. Selain di bagian instalasi gizi. Kami juga menyebar di ruang bedah pria dan wanita, ruang jantung, ruang neurologi (saraf), ruang anak, dan nasih ada beberapa ruang lain.
Selain ikut berperan dalam distribusi makanan, aku dan teman-teman juga ikut dalam penerimaan bahan makanan, mengatur diet* pasien dan melakukan konsultasi terhadap pasien dan tentunya di bawah pengawasan ahli gizi.
“T.O, udah dapat pasien yang komplikasi belum,” tanya Synthia yang masih bingung mencari pasien yang nantinya diangkat  menjadi kasus kami.
“Udah, di ruang Nuero lagi banyak pasien tuh. Coba deh pinjam buku rekam medis pasien itu. Mana tau sesuai dengan kriteria tugas kita,” usulku
Synthiapun bersama Suci  dan Fanny langsung menuju ruang neurologi. Aku yang di kelompokkan bersama Widya dan Yesi kembali ke ruang pertemuan dan melakukan analisa diet untuk masing-masing pasien yang kami anamnesa** tadi.
Akhirnya dalam rentang waktu yang ditetapkan kami yang berjumlah dua belas orang dari Jurusan Gizi Poltekkes Kemenkes Padang mendapatkan pasien sesuai kriteria yang ditentukan oleh instruktur yaitu menangani pasien dengan adanya komplikasi.
Selama tiga hari kami melakukan pengamatan terhadap perkembangan status gizi pasien yang kami tangani. Benar-benar luar bisa, rata-rata pasien yang kami tangani mengalami peningkatan statistik status gizi yang membaik. Karena pasien yang kami tangani diambil dengan kriteria tertentu jadi beberapa pasien yang satu ruangan dengan pasien yang kami tangani bertanya-tanya.
            “Dek, kok cuma ibu itu aja yang di kasih perhatian lebih. Padahal kami juga mau.”             Ujar salah seorang keluarga pasien.
            Mendengar komentar ibu tadi, kamipun dengan hati-hati menjelaskan kepada ibu bahwasannya kami dapat tugas dari instruktur untuk mengatur diet satu orang pasien selama empat hari berturut-turut mulai dari makan pagi hingga malam dan melihat penerimaan pasien terhadap makanan rumah sakit seperti menimbang berapa makanan yang diberikan serta berapa makanan yang disisakan oleh si pasien  serta memberikan penyuluhan di akhir studi kasus kami.
Kami tetap melakukan anamnesa dan konsultasi diet kepada seluruh pasien ketika masuk ruangan bersama ahli gizi ruangan tersebut namun tidak melakukan pengamatan secara mendetail seperti halnya studi kasus kami. Setiap hari kami melihat perkembangan status gizi pasien yang kami tangani dengan cara melakukan penimbangan berat badan bila pasien tidak memungkinkan untuk berdiri kami melakukan pengukuran lingkar lengan atau tinggi lutut si pasien.
Tiap minggu adalah jatah libur buat kami dan kami gunakan kesempatan ini untuk jalan-jalan. Kamipun memilih Benteng Fort de Kock sebagai tempat kunjungan pertama kami.
“Guys, kita naik angkot aja ke sana, kalo jalan cukup jauh.” Usul puja yang sudah akrab dengan kota ini. Kamipun menyetujui karena kami adalah orang baru disini.
Setelah menelusuri halaman Benteng Fort de Kock kamipun  melanjutkan ke kebun binatang yang tidak jauh jaraknya dari situ. Lalu perjalanan kami tutup di taman Jam gadang Bukittinggi. Setiap perjalanan tidak lupa kami abadikan dalam bentuk foto. Setelah capek menelusuri jalanan panjang kota Bukittinggi kami berhenti di kedai bakso yang cukup terkenal di kota ini, kami menyebutnya ’bakso Yarsi’ karena berada di belakang kampus Yarsi. Perut kenyang, pikiran tenang dan sedikt capek tapi tidak terasa karena disetiap perjalanan selalu ada tawa dan canda.

*mengatur  pola makan
**tanya-jawab seputar diet pasien/ kebiasaan makan




Total comment

Author

Triana Irsyad

Bahasa Cinta



Jika bulan bersinar karena memang sudah datang malam, akankah cinta juga akan bersemi ketika
Sumber foto: bahasainggrismudah.com
memang sudah datang seorang pangeran? Atau semua itu takdir? Bagaimana pula dengan kehadiranku di tempat ini? Apakah juga takdir?  
Di salah satu perumahan elit ini aku tinggal. Sebagai pendatang baru dan hanya ada bibi juga sopir. Orangtuaku masih di Jerman, mereka akan menyusul dua bulan lagi. Kami adalah orang Indonesia yang sudah tiga tahun merantau ke sana.
Minggu pagi yang cerah. Kuhirup aroma sejuk yang menawan di taman. Meski hanya berkawan dengan bayangan yang kesepian, tapi aku menikmati jogging kali ini. Sebotol air mineral turut jadi kawanku. Sambil meneguk perlahan, ada sosok mencuri perhatianku, tampan dan sederhana penampilannya. Sebentar lagi dia akan mendekat, putaran taman ini akan membawanya ketempatku. Dan semoga saja dia berhenti sejenak. Rindu aku bicara dengan orang Indonesia.
Benar dugaanku, kau berhenti tepat di kursi putih ini. Aku tersenyum menyapa, kaupun melemparkan senyum.
“Hai, boleh gabung di sini? Aku lelah habis keliling.”
Aku hanya mengangguk. Dan kau bertanya lagi, “Tinggal di kompleks ini juga?”
Aku kembali mengangguk. Lalu kau berucap, “Kamu lucu ya, ditanya jawabnya cuma anggukan saja,”
“Kuliah? Atau..”
Aku baru tamat kuliah,” mungkin bahasa isyaratku tidak terlalu kau pahami. Kebetulan ada pulpen dan kertas di kantongku, karena aku penulis. Kaupun akhirnya paham. Sikapmu sedikit berubah karena tahu bahwa aku tunarungu, tapi jangan khawatir aku bisa membaca gerak mulutmu. Dan aku kira kau langsung pergi, tapi ternyata kau berlama-lama di sini, sekedar berbincang meskipun dengan bantuan kertas dan pulpen untuk menjawabmu.
Sudah sebulan lebih kita bertemu, kau orang yang baik dan tidak peduli dengan kekuranganku, bahkan kau tidak malu mengajakku untuk keluar sekedar menonton film ataupun jalan-jalan. Setiap kali jalan denganku kau selalu bercerita jujurtentang perasaanmu padaku. Dan akupun harus jujur padamu. Aku bukan tunarungu dan aku juga mencintaimu.

Total comment

Author

Triana Irsyad


Puisi bertema:  “Bukittinggi, The Dreamland of Sumatera dalam Kenangan, Kesan, Impian dan Harapan”.
Oleh: Tri Oktiana, IDFAM1225U, Pariaman, Sumatra Barat
 
Potret  Alam membisu
Sumber foto:
indonesiaadventure.com

di kejauhan kuraih keindahan
langkah-langkah kecil di Panorama berdatangan
dua mata ini terpana
oh, Ngarai Sianok mempesona dari kejauhan, potret “lembah diam”
alamat bayang yang menggetarkan

angin berbisik perlahan
terdengar suara-suara sumbang tempo dulu
tercium aroma ‘mayat-mayat’ bertumpuk
dimasa jepang berjaya masa silam
tapi potret itu terlukis indah sekarang
Ngarai Sianok potret tak terlupakan
Pariaman, 14-12-2012
  
Bantalan jarum yang masih berdetak

kali  kesekian ku tapakkan jejak
aroma adat yang kental berjajar di tanah bukit ‘kota Bukittinggi”
bantalan jarum yang masih berdetak
bayang masa lalu, bergelantung
disini aku pernah bersamamu dulu

pusaran angin membawa ke tengah keramaian mata
bermandikan sinar matahari, aku duduk lagi
semburat mentari memancarkan siluet jam gadang Bukittinggi di pusaran kota
jutaan daun-daun kecil meneduhkan dimana aku memandangnya

angka romawi yang tetap setia di pelukan  Jam Gadang
rindu aku pada bayang masa lalu
dimana kita duduk di kursi tua ini, kawan
memandang bantalan jarum yang masih berdetak
dengan secangkir tawa dan semangkok semangat,
tentu kau masih ingat
Pariaman, 14-12-2012

Deru Tempo Dulu

bulan Juli, aku menerawang
di atas kaki bukit, kususuri jalan di Benteng For De Kock
akankah hari-hari lampau terulang ?
dimana deru-deru bergantian
tembakan meriam mulai lancang
senjata-senjata liar bertuan
semburat darah memancar dari jiwa-jiwa yang tak mengenal lelah, tulus dan terus berjuang
tak ada kanopi kekasih melingkupi di mata sesat  sang raja  bengis

kini ku dengar kebisuan yang damai
kuhirup rindu kejayaan masa silam
langit-langit senja yang kini menyelami imajinasi
melingkupi bagai atmosfer sejarah
‘menerawang’
‘meriam’
‘merinding’
‘nyanyian kejayaan’
ku deklamasikan ”Buku Tamu Museum  Perjuangan*”
tenggelam aku dalam kenangan
 Pariaman, 14-12-2012

*Judul puisi Taufk Ismail


Jejakku Menepi di Bukittinggi

Ngarai sianok, pemandangan klasik
Panorama, potret suasana
Lubang Jepang, lorong-lorong sejarah
Kebun binatang, dunia hiburan
Benteng For De Kock, taman sejarah
Jam Gadang berdetak sapa dengan sanggul rumah gadang
Badut-badut meramaikan tempat wisata
Pasa Ateh, Pasa Bawah, Jenjang Ampek Puluah
jejakku pernah menepi disana

Padang, 2008

 
Bukittinggi, Ambo di siko*)

sering aku ke sini, tapi tak pernah mampir memicingkan mata semalam
sekarang ada waktu berbulan-bulan
Bukittinggi, ambo di siko

melewati Pasa Ateh,Pasa Lereng, Pasa Bawah
ramai orang
tiap senen aku bersinggah ke Pasa Ateh
dari Bukik Apik naik angkot kuning tak bernomor
banyak betul jajanan di sana, ada dadiah* pula

ada turis mencuci mata di pemandangan Pasa Ateh
amboi, souvenir di Pasa Ateh memanggil-manggil, tak enak rasanya membeli satu saja
kulinernya luar biasa: rakik, sanjai, karupuak balado, karak kaliang**
rendang ayam yang lamak bana (enak sekali), nasi kapau apa lagi
melabuhkan hati di tanah kelahiran bapak ekonomi pembangunan, Ir. Moehammad Hatta
Bukittinggi, ambo di siko

Bukittinggi, Juli 2012
*Di sini
**Susu fermentasi
*** Cemilan khas Bukittinggi



Total comment

Author

Triana Irsyad