Hai, adik kesayanganku. Adik satu-satunya, apa kabar?
Semoga dalam keadaan sehat dan terus bersemangat ya. Hanya bisa mendoakan dari
kejauhan.
Dik, entahlah, kenapa ingin sekali
menuliskan ini. Meskipun kakakmu ini tau, kau tak suka nge-blog atau pun blogwalking.
Susah sekali mengajakmu untuk menulis. Padahal, menulis itu menyenangkan. Ya,
tiap orang beda kesenangan. Kau begitu terampil dalam menghafal dan suaramu
saat melantunkan alqur’an begitu indah untuk di dengar. Itulah dari beberapa
hal yang kukagumi darimu.
O ya, Dik, sudahkah kakakmu ini menjadi
kakak yang baik untukmu? Entah mengapa kenakalan di masa kecil masih
mengawang-ngawang. Dulu aku kakak yang jahat
ke adiknya. Beberapa hal seperti ini masih kuingat: saat aku menakut-nakutimu
dengan petir, padahal aku tau kau begitu takut dengan petir di kala itu; saat
aku menakut-nakutimu dengan hantu, hingga membuatmu menjadi penakut untuk ke
dapur sendirian; saat aku pernah melempar kakimu dengan kerikil, hingga kau
meraung kesakitan; saat kita main kejar-kejaran kemudian aku lari ke kamar dan
menutup pintu, tanpa sengaja kakimu terjepit dan berdarah. Dari setiap momen
itu aku selalu berhasil membuatmu menangis. Dik, maafin kakak ya.
Dik, taukah kamu, percaya atau pun
tidak, aku masih ingat. Sewaktu kau masih di dalam kandungan mama (waktu itu
umurku belum genap 4 tahun), aku sering mengelus perut mama dan menempelkan
telingaku di perutnya. Berusaha untuk menyapamu. Berarti aku menginginkan adik
bukan?
Dik, maafkan ketika kakakmu pernah tidak
berlaku adil. Saat kamu bilang, “Idham (sepupu) dibikinin, sedangkan Ora gak kakak bikinin.” Saat itu aku
terenyuh. Mungkin tanpa sadar aku telah berlaku tidak adil dan membeda-bedakan.
Entah kenapa dulu aku begitu menginginkan adik laki-laki. Bahkan hingga SMP pun
aku terus merengek ke mama untuk diberikan adik laki-laki. *Ah, kelakuanku
seperti meminta mainan saja*
Dik, maafkan ketika aku SMA sudah jarang
bahkan bisa dikatakan tak ingin bermain denganmu. Mungkin masa puber mempengaruhi
dan keegoisanku semakin meninggi. Aku lebih banyak bergelut dengan hobi. Masih
terngiang ajakanmu,” Kak, main yuk. Sejak masuk SMA gak pernah bermain bareng kakak.”
Aku pun kembali terenyuh. Aku hanya diam, bingung hendak bermain apa.
Dik, taukah kamu? Selama SMA itu aku
berusaha menjadi kakak yang baik. Setiap malam kuperbaiki selimutmu lalu kucium
keningmu saat kau terlelap. Tak tau apa kau menyadari atau tidak, yang pasti,
itu caraku menunjukkan rasa sayang.
Dik, saat masih SD kita mengaji di
tempat yang sama, suatu hari uang jajanmu habis, kau meminta uang tambahan
kepadaku. Aku tidak berpikir panjang untuk memberinya. Kau tau kenapa? Karena
aku tak ingin melihat adikku hanya bisa memandangi temannya makan.
Dik, sewaktu masih SD, ketika ada yang
mengganggumu aku selalu membelamu. Bahkan saat kau dibuat menangis oleh salah
seorang temanmu, aku mengejar orang itu. Saat kau bertengkar dengan temanmu,
aku membelamu dan memarahi dia. Itu bentuk sederhana bahwa aku tak ingin kau disakiti
oleh siapa pun.
Dik, sewaktu masih SD dahimu pernah
terluka. Disaat aku tanya kenapa, kau menjawab tidak sengaja terbentur. Tapi
aku amati itu bukan bekas luka benturan . Kemudian aku bertanya,”kamu bohong
kan?” Lalu kau jawab, “iya. Ini kena kayu yang dilayangkan teman kelas.” Ah,
dia sungguh nakal. Andaikan aku masih SD, tentu aku bisa melindungimu dan
membalas orang yang melukaimu. Waktu itu kau memintaku untuk tidak
memberitahukan kepada mama. Mana bisa aku diam, pada akhirnya aku adukan kepada
mama, aku sudah tidak bisa melindungimu karena kita sudah berada di sekolah
yang berbeda. Aku sudah masuk SMP, Dik, dan itu salah satu caraku agar kau
tetap aman.
Dik, taukah kamu? Ada satu hal yang
membuatku khawatir di saat aku dinyatakan lulus SD. Ya, aku khawatir tak ada yang menjagamu. Padahal aku sendiri
sering membuatmu menangis, tapi aku tak pernah rela adikku dibuat menangis oleh
orang lain.
Masih ingatkah? Ketika ada anak Down syndrome yang
mengganggumu? Kau lari mendekatiku dan memintaku untuk mengusir anak itu. Aku
langsung membentak dia dan menyuruhnya untuk pergi, dan akhirnya ia pergi.
Padahal sebenarnya aku juga takut, tapi berpura-pura berani di depanmu.
Dik, sewaktu lebaran kemaren, kau
berkelakar untuk dikasih THR. Namun setelah kukasih, kau menolak. Ternyata
alasanmu,”nanti saja kalo kakak udah kerja.” Ah, seperti tak tau saja uang
kakakmu ini banyak :p
Setiap momen ulang tahunmu aku selalu ingin
memberikan hadiah yang kau impikan. Kecuali untuk tahun ini mustahil untuk
dikabulkan (kau ingin mobil, kakakmu saja belum punya, dan aku tau kau hanya
bercanda :p). Aku hanya bisa memberikan uang, kubiarkan kau membeli
apa yang ingin kaubeli.
Dik, ternyata tanpa sadar aku hanya bisa
memanjakanmu dengan sesuatu yang aku rasa membuatmu bahagia. Dari dulu setiap
aku pergi kemana pun, aku ingat untuk membelikanmu sesuatu. Bahkan ketika
ditakdirkan untuk merantau ini. Di saat ada yang menawarkan sesuatu, aku ingin membelinya
untukmu. Semoga caraku tidak salah ya. Setiap pulang liburan, aku selalu
menanyakan, “kakak akan pulang, mau dibelikan apa?” Setiap pesanmu aku cari
hingga dapat, jika tak kudapatkan aku miminta teman untuk mencarinya.
Tapi
entah kenapa aku masih merasa belum menjadi kakak yang baik. Belum bisa
mencintaimu dengan cara sederhana. Mungkin itu bentuk upayaku membayar
kesalahan karena pernah jahat kepadamu, dulu.
Saat mama ke sini, aku menitipkan
coklat yang pernah kupamerkan waktu itu lewat foto kepadamu. Tahukah, Dik, aku
membuatnya tengah malam seusai rapat. Entah kenapa di saat bersamaan jadwalku
begitu padat. Tapi aku tak ingin mengecewakanmu karena sudah berjanji akan
membuatkannya khusus untukmu. Juga ada kacang yang kubelikan untukmu. Bahkan
ketika keponakan kita usia 1 tahun 3 bulan mengambilnya, aku segera
menggantinya dengan yang lain, karena aku ingin kacang itu hanya buat kamu.
Di semester terakhirku, saat aku menanyakan
hal yang sama, “kakak akan pulang, mau dibelikan apa?” jawabanmu tidak seperti
biasanya,”terserah kakak saja.”
Itu
bukan berarti kau tak peduli dengan pertanyaanku, tapi aku merasakan bahwa kau tidak
enak hati merepotkanku. Padahal, tahukah, Dik. Aku malah senang ketika kau
meminta sesuatu dan aku sangat bahagia saat kau tersenyum mendapatkannya.
Dik, semakin ke sini aku semakin berubah
ke arah yang lebih baik. Mungkin dulu aku tak peduli dengan orang-orang, kepada
orang yang lebih kecil apalagi. Kepada junior misalnya, terbukti tak ada satu
pun yang dekat. Tapi setelah kuliah di sini ada banyak junior yang dekat
denganku, banyak pula yang curhat tentang kehidupannya. Aku bersyukur bisa
menjadi wadah untuk berceritanya orang-orang.
Suatu hari aku bercerita kepadamu
bagaimana kehidupanku di sini dan orang-orang yang ada di sekelilingku. Aku
menceritakan sisi positif dan negatif orang-orang. Tak kusangka kau memberi
komentar yang hebat. Saat itu aku merasa, adikku sudah pandai menyikapi masalah
dan mungkin aku terlambat menyadarinya. Selama ini aku tak mau berbagi denganmu
dengan alasan karena kau masih anak-anak, ternyata aku salah.
Dik, aku mulai merasakan sekarang, kau
mendukungku diam-diam. Kau mengkhawatirkanku selayaknya kekhawatiran mama,
papa, dan kakak-kakak. Kemarin kau mengirim BBM dan menanyakan perihal
kedatanganku, lusa. Kau memberikan alternatif setelah dari bandara berhubung
tak seorang pun ada di rumah. Ah, adikku sudah mulai beranjak dewasa pola pikirnya,
dan malah terkadang aku merasa masih kekanak-kanakan.
Semoga
suatu hari nanti, di saat kau membaca tulisan ini, kau menjadi tau betapa
sayangnya kakakmu ini kepadamu melebihi dirinya sendiri. I love u sweetie,
kamek.