Hujan
yang deras memberikan ruang untuk kita berteriak sesuka hati, tapi bukan itu
yang ingin diajarkan. Coba kita saling lihat ke depan, ada suara yang
ditawarkan dari gemericik yang jatuh di sela-sela bebatuan. Dulu kita pernah
bertanya kepada angin yang mengajarkan kita saling sapa walau dari kejauhan
bukan? Atau tentang semut yang saling tegur sapa setiap kali bertemu muka.
Kita
bisa seperti itu, dan terus seperti itu, bahkan ketika kita tercipta untuk
tidak saling mengenal bahkan bertemu sekalipun, aku yakin kita saling menemukan
orang yang pernah kita pilih di saat yang sama, di saat kita bertanya akan keberadaan
kita masing-masing—di saat kita saling merindukan.
Ketika itu aku bersyukur ditakdirkan untuk pernah bersamamu. Kau selalu aku
tanyakan Farha, di setiap doaku. Bahkan setiap kali aku berniat memejamkan
mata, aku berkhayal dahulu tentang kehidupan yang pernah dan akan kita jalani.
***
Bukankah waktu terasa singkat di saat detik-detik
menjelang wisuda itu hadir. Aku khawatir, khawatir tidak bisa menemukan orang
sepertimu—lagi. Bukan masalah cinta, yang
jelas aku hanyalah aku yang setiap waktu mengharapkan ada lagi Farha Farha yang
lain.
Semua orang tertawa renyah, kuputar bola mataku. Siapa
lagi yang ingin kucari kecuali kau Farha. Meski kutau jika ada pun waktu yang
panjang, justru hanya akan terbuang, karena kutau kau takkan pernah datang.
Hujan yang tak kuundang pun datang begitu deras, apa
hujan sudah membenci diriku, Farha? Itu setiap kali yang kutanyakan padamu,
kemudian engkau menjawab dengan jawaban persis sama,”hujan tidak pernah
membencimu.”
Sejak saat itu aku mulai merubah paradigma tentang
hujan. Tentang ia yang pernah hadir dan menghanyutkan senyum masa kecilku.
Hujan tak pernah membenciku, tapi kenapa aku membenci hujan?
***
“Deya, sudah siap kan?”
“Aku merasa tidak nyaman.”
“Benarkah? Ini bukan kali pertama kau tampil di
depan umum.”
“Iya, tapi aku tak akan merasa nyaman tanpa
persaingan itu”
Farha mendelik, “maksudmu?”
“Allan tidak ikut bukan? Aku sudah tau”
Farha hanya diam.
“Apa kau sudah mengetahuinya sejak lama? Tidak tahu
apa sengaja tidak memberitahu?” Deya menarik nafas.
“Aku minta maaf Deya, silakan marah padaku.”
“Aku tidak marah, dan aku tidak pernah tau cara
marah kepadamu. Sudahlah, lupakan saja.”
Di ruang yang penuh dengan kedatangan orang-orang
asing itu, hanya segelintir orang yang ia kenal, Farha membantu Deya untuk
duduk. Kaki Deya yang sejak kecelakaan itu menjadi tidak sempurna—sejak hujan tengah malam itu, sejak ia pernah menangis
dan dan tidak ada seorang pun yang mendengar, bahkan kedua orangtuanya tertidur
pulas untuk selamanya dengan darah yang bersimbah. Guyuran hujan itu—Ada humpatan
kepadanya hingga beberapa tahun lamanya—Hujan....
***
Hari ini adalah lomba debat Mahasiswa Kreatif, Farha
sangat senang melihat sahabatnya yang berdiri di podium. Debat itu begitu
menarik, semua orang terkesima dengan argumen-argumen dari peserta. Menjelang
berakhir, poin Deya semakin bertambah dan Deya pada akhirnya terpilih menjadi
pemenang utama.
“Far, lagi-lagi hujan turun. Entah kenapa hujan itu
selalu datang tanpa diundang. Apa hujan membenciku?”
“Hujan tidak pernah membencimu, sekalipun kau pernah
membenci hujan. Aku malah senang, di saat ada kegiatan bersamamu hujan sering
kali datang, untuk menyaksikan kamu, aku—kita.
Bukan karena hujan membencimu, tapi berkah yang ia hadirkan untuk kita.
***
Seminggu kemudian, Deya mengayuh kursi rodanya
dengan kuat. Ia tak ingin terlambat, tapi ia tahu telah terlambat. Farha kini tertidur
lelap, ia mencoba menerka-nerka apa yang tengah dimimpikan Farha dalam tidurnya.
Kasur yang beralaskan kain putih itu, di tempatnya Farha terlihat pulas dengan perlengkapan
rumah sakit yang mulai ditanggalkan oleh sang perawat. Hingga mesin tik tak pun
tak lagi punya nyali.
Kau meninggalkanku untuk selama-lamanya, Farhaku?—Sahabat masa kecilku pergi bersama penyakit yang telah
lama dideritanya—leukimia.
Ingin kutunggu dirimu, tapi jika adapun waktu yang panjang, justru hanya akan terbuang.
Karena kutau kau takkan pernah datang.
***
Aku berharap Vina dan Syawqi juga memilih kelas yang
sama. Kukira aku takkan merasa bagaikan orang asing jika ada orang yang
kukenal. Aku bertanya-tanya, gadis mana yang akan menjadi temanku. Ini
benar-benar spekulasi yang menarik. Tentu saja aku berjanji kepada Farha bahwa
tidak akan ada seorang pun gadis Bunga, tak peduli seberapa banyak aku
menyukainya, akan bisa menjadi sahabat terbaik seperti Farha; tapi aku memiliki
kasih sayang terbaik kedua yang kuberikan, meskipun orang-orang yang kutemui
tampaknya dia tahu sesuatu tentang mimpi, aku ingin mengenal dia—mengenal mereka dengan dekat —cukup dekat untuk diajak
berteman baik, dan memanggil nama kecil mereka, tapi saat ini aku tidak
mengenal mereka dan mereka juga tidak mengenalku, dan mungkin tidak ingin
mengenalku lebih jauh oh, betapa sepinya diriku!”