Kenapa harus ada pertemuan jika pada akhirnya akan ada perpisahan?
Aku tidak ingin menjadi orang yang pergi atau orang yang ditinggalkan. Jika dipaksa memilih, aku ingin menjadi bagian yang pergi. Seperti daun kering yang lebih dahulu jatuh, pergi meninggalkan dedaunan lainnya.
Kenapa semakin ke sini aku dituntut untuk terbiasa berpisah? Lama-lama ada kekhawatiran, rasa kehilangan tidak akan muncul lagi karena sudah terbiasa ditinggal dan meninggalkan.
Perpisahan adalah momok yang menakutkan. Apalagi bagi dua manusia yang mencinta, mengasihi sebagai saudara, maupun pasangan jiwa.
Ah, aku membenci perpisahan. Karena begitu menyakitkan dan berpura-pura tegar padahal rapuh dan tak sanggup menahan.
Aku betul-betul membenci pertemuan jika pada akhirnya ketika aku mulai jatuh cinta, yang ada hanya kenangan dalam bentuk cerita lama. Apa aku jatuh cinta? Dan tak ingin siapa-siapa merusaknya? Termasuk perpisahan itu sendiri?
Cinta adalah saat aku lupa duniaku. Yang terpikir adalah bahagia bersamanya dan membangun mimpiku untuknya. Aku melupakan hobi, keanehan yang kumiliki. Dan ketika saat itu datang, perpisahan mengantarkanku kembali kepada kesendirian. Aku jatuh cinta lagi pada hobi dan khayalan. Aku mulai sibuk kembali dengan duniaku. Ah, dunia seakan dua jalan. Bahagia dengan pertemuan atau bahagia dengan keanehan dan kesendirian.
Aku lebih baik memilih poin kedua.