Sudah
beberapa kali aku jatuh cinta, tentu setiap kali merasakan selalu ada perasaan
khusus. Namun kali ini aku membiarkan alam liarku bekerja. Duhai kekasih yang
selalu kutunggu kesempatan untuk bertemu. Inspirasi menulisku. Kau adalah
alasan setiap kata puitis itu terlahir. Ada rasa takut yang pernah menghantui di
saat aku tau ada orang lain di setiap doamu. Bukan aku, kekasih. Aku tetap
sabar menunggu di saat yang tepat. Menjadi penguntit diam-diammu. Pengagum rahasiamu.
Teman pengantar pulang ke kosan yang belum pernah kau sadari. Maaf aku selalu
mengikutimu di saat perjalananmu pulang. Hanya ingin memastikan bahwa kau
sampai dengan selamat dan baik-baik sayang.
Kekasih,
suatu saat aku memberanikan diri untuk berkenalan denganmu di sosial media. Terima
kasih atas sambutanmu yang ramah. Kemudian, aku mencoba mendekatimu lebih dalam
dengan meminta nomor teleponmu. Aku bersyukur kau memberikannya, walau kau
memberi pertanyaan awal yang sulit aku balas dengan kalimat jujur,”untuk apa
memang?”
Kemudian aku balas,”untuk sharing mengenai kepenulisan.” Ah, itu
alasan klise, namun beruntung kau memberikannya. Jika kau ingin tahu, inilah
alasan sebenarnya: 1. Aku jatuh cinta kepadamu, 2. Aku jatuh cinta kepadamu, ingin
mengenalmu, 3. Aku jatuh cinta kepadamu, ingin mengenalmu dan menjadi bagian
kebahagiaan dalam hidupmu, dan alasan ke empat adalah sebab aku jatuh cinta
kepadamu, ingin mengenalmu dan menjadi bagian kebahagiaan dalam hidupmu, dan
ingin tetap jatuh cinta kepadamu. Itulah kekasih, semoga engkau tau dan membaca
postinganku ini.
Kekasih,
masih ingatkah? Di saat setelah aku mendapat nomor teleponmu, kebiasaanku masih
sama, menjadi pengikut diam-diam. Di sore itu, di saat hujan datang, mungkin waktu
yang tepat. Kau secara tidak sengaja
melihat kebelakang dan menemukan aku di bawah guyuran hujan. Kau bertanya,” kamu mau kemana?”
Aku
ingin mengantarmu.
Lalu
kau memandangku dengan tatapan yang aneh, maaf kekasih aku belum bisa jujur.
“Aku
hendak ke rumah teman”
“Gak
bawa payung?”
Aku
menggeleng, kemudian kau memberi tawaran, “Mau nebeng?” meskipun kau sedikit
khawatir karena harus sepayung berdua dengan aku.
“Tidak
usah, sudah terlanjur basah”
“Gak
apa-apa, sini. Bentar lagi aku nyampe kosan, nanti kamu bawa payung aku aja”
“Gak
usah, udah terlanjur basah”
Kamu
mengerlingkan mata.
Lebih
tepatnya, terlanjur jatuh cinta, itulah
sebab aku ada di sini. Di dekat kamu.
“Rumah
teman kamu deket mana?”
“Nggg,
disebelah sana,” jariku menunjuk ke arah kanan dari kosanmu
“Oh,temannya
cewek?”
“Gak,
cowok”
“Bukannya
itu kosan cewek ya?”
“Eh,
maksudku yang di sebelahnya lagi.” Maaf aku ngarang.
Akhirnya
tiba jua di kosanmu. Ah, kenapa jarak kosanmu terlalu dekat. Terlalu cepat
pembicaraan ini berlalu.
“Ini,
payungnya bawa aja”
Aku
masih diam menatapmu.
“Ng,
aku masuk dulu ya. Apa mau nungguin reda dulu?”
“Oh,
iya maaf. Aku langsung pergi aja. Terima kasih, kekasih”
“Sama-sama”
—bersambung—
Semoga
esok berjumpa kembali. Cinta yang kubungkus untukmu setiap pagi. Kamu adalah
rangkaian doa yang tak terlupakan