Formulir Kontak

 

Surat Cinta untuk Adik



Hai, adik kesayanganku. Adik satu-satunya, apa kabar? Semoga dalam keadaan sehat dan terus bersemangat ya. Hanya bisa mendoakan dari kejauhan.
Dik, entahlah, kenapa ingin sekali menuliskan ini. Meskipun kakakmu ini tau, kau tak suka nge-blog atau pun blogwalking. Susah sekali mengajakmu untuk menulis. Padahal, menulis itu menyenangkan. Ya, tiap orang beda kesenangan. Kau begitu terampil dalam menghafal dan suaramu saat melantunkan alqur’an begitu indah untuk di dengar. Itulah dari beberapa hal yang kukagumi darimu.
O ya, Dik, sudahkah kakakmu ini menjadi kakak yang baik untukmu? Entah mengapa kenakalan di masa kecil masih mengawang-ngawang. Dulu aku kakak yang  jahat ke adiknya. Beberapa hal seperti ini masih kuingat: saat aku menakut-nakutimu dengan petir, padahal aku tau kau begitu takut dengan petir di kala itu; saat aku menakut-nakutimu dengan hantu, hingga membuatmu menjadi penakut untuk ke dapur sendirian; saat aku pernah melempar kakimu dengan kerikil, hingga kau meraung kesakitan; saat kita main kejar-kejaran kemudian aku lari ke kamar dan menutup pintu, tanpa sengaja kakimu terjepit dan berdarah. Dari setiap momen itu aku selalu berhasil membuatmu menangis. Dik, maafin kakak ya.
Dik, taukah kamu, percaya atau pun tidak, aku masih ingat. Sewaktu kau masih di dalam kandungan mama (waktu itu umurku belum genap 4 tahun), aku sering mengelus perut mama dan menempelkan telingaku di perutnya. Berusaha untuk menyapamu. Berarti aku menginginkan adik bukan?
Dik, maafkan ketika kakakmu pernah tidak berlaku adil. Saat kamu bilang, “Idham (sepupu) dibikinin,  sedangkan Ora gak kakak bikinin.” Saat itu aku terenyuh. Mungkin tanpa sadar aku telah berlaku tidak adil dan membeda-bedakan. Entah kenapa dulu aku begitu menginginkan adik laki-laki. Bahkan hingga SMP pun aku terus merengek ke mama untuk diberikan adik laki-laki. *Ah, kelakuanku seperti meminta mainan saja*
Dik, maafkan ketika aku SMA sudah jarang bahkan bisa dikatakan tak ingin bermain denganmu. Mungkin masa puber mempengaruhi dan keegoisanku semakin meninggi. Aku lebih banyak bergelut dengan hobi. Masih terngiang ajakanmu,” Kak, main yuk. Sejak masuk SMA gak pernah bermain bareng kakak.” Aku pun kembali terenyuh. Aku hanya diam, bingung hendak bermain apa.
Dik, taukah kamu? Selama SMA itu aku berusaha menjadi kakak yang baik. Setiap malam kuperbaiki selimutmu lalu kucium keningmu saat kau terlelap. Tak tau apa kau menyadari atau tidak, yang pasti, itu caraku menunjukkan rasa sayang.
Dik, saat masih SD kita mengaji di tempat yang sama, suatu hari uang jajanmu habis, kau meminta uang tambahan kepadaku. Aku tidak berpikir panjang untuk memberinya. Kau tau kenapa? Karena aku tak ingin melihat adikku hanya bisa memandangi temannya makan.
Dik, sewaktu masih SD, ketika ada yang mengganggumu aku selalu membelamu. Bahkan saat kau dibuat menangis oleh salah seorang temanmu, aku mengejar orang itu. Saat kau bertengkar dengan temanmu, aku membelamu dan memarahi dia. Itu bentuk sederhana bahwa aku tak ingin kau disakiti oleh siapa pun.
Dik, sewaktu masih SD dahimu pernah terluka. Disaat aku tanya kenapa, kau menjawab tidak sengaja terbentur. Tapi aku amati itu bukan bekas luka benturan . Kemudian aku bertanya,”kamu bohong kan?” Lalu kau jawab, “iya. Ini kena kayu yang dilayangkan teman kelas.” Ah, dia sungguh nakal. Andaikan aku masih SD, tentu aku bisa melindungimu dan membalas orang yang melukaimu. Waktu itu kau memintaku untuk tidak memberitahukan kepada mama. Mana bisa aku diam, pada akhirnya aku adukan kepada mama, aku sudah tidak bisa melindungimu karena kita sudah berada di sekolah yang berbeda. Aku sudah masuk SMP, Dik, dan itu salah satu caraku agar kau tetap aman.
Dik, taukah kamu? Ada satu hal yang membuatku khawatir di saat aku dinyatakan lulus SD. Ya, aku khawatir  tak ada yang menjagamu. Padahal aku sendiri sering membuatmu menangis, tapi aku tak pernah rela adikku dibuat menangis oleh orang lain.
Masih ingatkah? Ketika ada anak Down syndrome yang mengganggumu? Kau lari mendekatiku dan memintaku untuk mengusir anak itu. Aku langsung membentak dia dan menyuruhnya untuk pergi, dan akhirnya ia pergi. Padahal sebenarnya aku juga takut, tapi berpura-pura berani di depanmu.
Dik, sewaktu lebaran kemaren, kau berkelakar untuk dikasih THR. Namun setelah kukasih, kau menolak. Ternyata alasanmu,”nanti saja kalo kakak udah kerja.” Ah, seperti tak tau saja uang kakakmu ini banyak :p
Setiap momen ulang tahunmu aku selalu ingin memberikan hadiah yang kau impikan. Kecuali untuk tahun ini mustahil untuk dikabulkan (kau ingin mobil, kakakmu saja belum punya, dan aku tau kau hanya bercanda :p). Aku hanya bisa memberikan uang, kubiarkan kau membeli apa yang ingin kaubeli.
Dik, ternyata tanpa sadar aku hanya bisa memanjakanmu dengan sesuatu yang aku rasa membuatmu bahagia. Dari dulu setiap aku pergi kemana pun, aku ingat untuk membelikanmu sesuatu. Bahkan ketika ditakdirkan untuk merantau ini. Di saat ada yang menawarkan sesuatu, aku ingin membelinya untukmu. Semoga caraku tidak salah ya. Setiap pulang liburan, aku selalu menanyakan, “kakak akan pulang, mau dibelikan apa?” Setiap pesanmu aku cari hingga dapat, jika tak kudapatkan aku miminta teman untuk mencarinya.
Tapi entah kenapa aku masih merasa belum menjadi kakak yang baik. Belum bisa mencintaimu dengan cara sederhana. Mungkin itu bentuk upayaku membayar kesalahan karena pernah jahat kepadamu, dulu.
            Saat mama ke sini, aku menitipkan coklat yang pernah kupamerkan waktu itu lewat foto kepadamu. Tahukah, Dik, aku membuatnya tengah malam seusai rapat. Entah kenapa di saat bersamaan jadwalku begitu padat. Tapi aku tak ingin mengecewakanmu karena sudah berjanji akan membuatkannya khusus untukmu. Juga ada kacang yang kubelikan untukmu. Bahkan ketika keponakan kita usia 1 tahun 3 bulan mengambilnya, aku segera menggantinya dengan yang lain, karena aku ingin kacang itu hanya buat kamu.
            Di semester terakhirku, saat aku menanyakan hal yang sama, “kakak akan pulang, mau dibelikan apa?” jawabanmu tidak seperti biasanya,”terserah kakak saja.”
Itu bukan berarti kau tak peduli dengan pertanyaanku, tapi aku merasakan bahwa kau tidak enak hati merepotkanku. Padahal, tahukah, Dik. Aku malah senang ketika kau meminta sesuatu dan aku sangat bahagia saat kau tersenyum mendapatkannya.
Dik, semakin ke sini aku semakin berubah ke arah yang lebih baik. Mungkin dulu aku tak peduli dengan orang-orang, kepada orang yang lebih kecil apalagi. Kepada junior misalnya, terbukti tak ada satu pun yang dekat. Tapi setelah kuliah di sini ada banyak junior yang dekat denganku, banyak pula yang curhat tentang kehidupannya. Aku bersyukur bisa menjadi wadah untuk berceritanya orang-orang.
Suatu hari aku bercerita kepadamu bagaimana kehidupanku di sini dan orang-orang yang ada di sekelilingku. Aku menceritakan sisi positif dan negatif orang-orang. Tak kusangka kau memberi komentar yang hebat. Saat itu aku merasa, adikku sudah pandai menyikapi masalah dan mungkin aku terlambat menyadarinya. Selama ini aku tak mau berbagi denganmu dengan alasan karena kau masih anak-anak, ternyata aku salah.
Dik, aku mulai merasakan sekarang, kau mendukungku diam-diam. Kau mengkhawatirkanku selayaknya kekhawatiran mama, papa, dan kakak-kakak. Kemarin kau mengirim BBM dan menanyakan perihal kedatanganku, lusa. Kau memberikan alternatif setelah dari bandara berhubung tak seorang pun ada di rumah. Ah, adikku sudah mulai beranjak dewasa pola pikirnya, dan malah terkadang aku merasa masih kekanak-kanakan.
Semoga suatu hari nanti, di saat kau membaca tulisan ini, kau menjadi tau betapa sayangnya kakakmu ini kepadamu melebihi dirinya sendiri. I love u sweetie, kamek.

Total comment

Author

Triana Irsyad