Formulir Kontak

 

Kumpulan Puisi Triana Irsyad dalam Bumi 7 Senti



♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Aku dan Hujan
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Ada burung gereja melayang  di langit sore yang semakin padam
Bergegas ia mengumpulkan sarang, kabar sang jantan musibah ‘kan datang
Bumiku sebentar lagi lumpuh dan demam, dengarlah angin perlahan menangis sendiri 
“Aku ingin menangis dan bernyanyi di bawah deras dan ributnya hujan, bahagiaku datang sebelum pergi”
Sebelum ada yang mengendus di aorta jantungku ada musibah basah
Dan sebelum ada tangisan mengapung di atasnya
Bogor, 02 November 2014

♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Aku Tanah
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Aku hanyalah tanah
Yang hidup pada apa yang menetes dari jari telunjuk dicelupkan ke laut
Sekumpulan tanah yang hidup
Aku hanyalah tanah yang hidup barang satu atau dua menit
Atau dua menit satu detik
Aku tinggal di setetes air laut yang begitu menggoda di pelupuk mata
Padahal tertipu
Aku malu,
Aku bukanlah matahari ataupun bulan
Aku hanyalah tanah
Berani tersenyum pongah
Aku tertipu lagi,
Aku tanah yang akan kembali ke tanah

Padang, 08 Juli 2012
Puisi ini pernah tergabung dalam antologi tunggal Bingkisan Perjalanan.


♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Ambulan
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Kita tidak menyewa ambulans untuk datang,
delman sukarela mengantar ke ruang-ruang operasi yang terjamah oleh waktu
Kita tak perlu takut, tak perlu risau
Daripada sesak tergoda oleh pisau, doa sebagai Benteng yang membatasi kita diantara bidik dan kacau
Kita tidak tercipta sebagai mata uang
Kita sebatas sekumpulan mata yang terkadang tak dianggap ada
Kita dikatakan buta oleh mereka,
Sambil menunjuk-nunjuk kepala di atas kita.
Aku tau Tuhan ada saat percakapan yang menyayat pagi hingga koyak,
Di hari itu Tuhan tersenyum kepada kita

Bogor, 22 November 2014

 

♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Anak Kecil
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Anak kecil bersenandung di atas atap rumah
Berendam setengah badan sambil bercengkrama bersama kawannya.
Kolam tahunan ikut-ikutan bergosip dengan mereka
Ada anak kecil yang bicara dengan ibunya, “ibu, aku ingin pindah”
Yang tengah menatap dasi bicara, “ bagaimana nasib negeriku nanti?”
Sambil menggigit gula yang menjadi caramel, ada yang berpura-pura tidak terjadi apa-apa
atau berpura-pura buta
Tuas berdenyit ikut tertawa melihat secuil bahagia Sebelum masa tawa itu berakhir selamanya
Gurat-gurat usia muda hanya melukis derita di mata tua mereka
Dengarkan hati kecilnya bicara
“Masih ada Tuhan di sisiku,” anak kecil itu Memejamkan mata dan tersenyum pada kita.
Jangan biarkan jiwa-jiwa itu layu di musim hujan

Bogor, 02 November 2014

♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Bagaimana Bila
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Bagaimana bila aku meluncur di wajah truk besar
Bagaimana bila aku melayang di tengah jalan
Bagaimana bila pagi ini aku di sana
Bagaimana bila malamnya aku di UGD bersama kotak listrik dan belalai panjang
Bagaimana mesin detak jantung berbunyi ragu
Bagaimana seketika empat katup berhenti berdetak
Bagaimana bila paruku mulai sesak
Bagaimana bila ruhku mulai meratap
Bagaimana aku dibawa pulang dengan isak
Bagaimana aku dikelilingi keluarga, kerabat, teman dan sahabat
Bagaimana aku dimandikan seperti bayi terlelap
Bagaimana rasanya ragaku di usung keranda yang ditopang bahu-bahu sanak
Bagaimana detik-detik selamat tinggal mulai terkubur
Bagaimana bila aku di dimensi baru, sendiri
Bagaimana bila pagi ini aku di sana

Padang, 07 November 2011
Puisi ini pernah tergabung dalam antologi tunggal Bingkisan Perjalanan.

♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Bahasa Hujan
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Hujan itu datang padamu pas tengah malam
Kemudian ia membimbingmu ke sebuah pemberhentian
Kuterka-terka datangnya gerimis dan ia mulai gugur
Kudengar hujan jatuh dari celah-celah  langit yang bersemayam
Kaukah yang melintas di balik jemarinya?
Seumpama awan berkabar padamu
ruang-ruang di balik sekat sembunyi
Kusuapi belang-belang di sudut rumahmu yang kudatangi
Kau tau namanya pundi-pundi suatu kekasih
Gemerisiknya menanti datang, semuanya paham
dunia berdengkur lelah sayu meninggalkan masa lalunya
Dia jadikan babak kedua yang pernah ada dan tiada kau tau
Gigil pun tak berarti sesenyum seiring sejalan
Seikat kenangan ia titip di meja usang
Renungan selepas kau pergi dan tak ada kabar lagi


Adapun sunyi
Dia kah suara yg sedari tadi tiada, kini punya rupa

Bogor,26 April 2014


♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Bahasa Laut
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Lautmu datang menghampiri kekasihnya
Ada umpatan sesal pada tumpukan plastik-plastik dua juta tahun lamanya
Sambil sesekali menangis dan meringis
Ia bertanya,”Dosakah aku pada dunia?”
Ia kabarkan kepadamu apa gerangan membuatnya rapuh
Sedang bahasa laut kau tak pernah paham
“Jika tidak, mengapa aku jadi korban amukan mereka?”
Dan kau berpura-pura setuju dan sangat tahu
Laut kemudian tenang kembali ke sarang
Esoknya kau terlibat dalam bahasa laut kembali,
Debu yang bernyanyi di halaman tertawa mendengar kabar gundahmu
Kepadanya takutmu menguar, takut dustamu mengambang
Kau kembali berpura-pura, tuli atau buta
Ah, dunia di antara dua kata bahkan sejuta
                    
Bogor, 03 November 2014

♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Berjuang
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Tuhan, aku ingin di dekatMu berlama-lama
sampai ada yang lelah untuk mengatakan ‘jangan’. kepada siapa aku akan sembunyidan kepada siapa kan mengadu pergi

Tuhan, aku ingin dalam waktu-waktu yang mudah dihitung,
dalam lukisan yang terdengar asing, basah dan abstrak
Ada sebuah cerita tentang langit di satu waktu saling tegur sapa
Semerbak aroma kopi menguar di udara senja
Semesta berkata, akan kutemui siangmu dan kukabarkan sepatah kata bahagia

Di atas kereta senja
Dahan-dahan yang mulai goyah meminta dipapah
Teriring jua perasaan yang tengah rebah,
dan tergolek di mimbar
Merunduk, berserak-serak, berterang-terang, dilunyah lumat-lumat

Sampai jua kita di penghujung jalan, di kata terakhir
di tempat kita saling terlahir

Bogor, 04 Juni 2014


♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Bumi 7 Senti
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Kita dipisahkan dari bumi sejak lahir
Di antara angka 7 yang tidak asing
7 keajaiban dunia,
7 lapis langit, 7 lapis bumi
7 benua
Dan sekarang kita dihadapkan pada apa yang pernah ditangisi pendahulu kita yang pernah terlahir

Bicara bumi,
Kita tinggal di rahimnya yang 7 senti tersisa,
Semakin padam dan siap tenggelam

Kemarin ada banjir datang bersilaturrahmi dan membujuk kita agar selalu diundang setiap tahunnya
Kemarin ada gunung memuntahkan unek-uneknya, ada bujuk rayunya agar kita setia, ada sampah mendatangi rumah kita sambil berpesta.
Kemarinnya lagi anak-anak sedang berlari dibuat tangis,
anak-anak kecil dibuat tewas,
anak-anak kecil dibuat bodoh,
anak-anak kecil dibuat sakit jiwa,
anak-anak kecil dibuat lapar, dizalimi di mata semesta.
Bumiku malu dan sembunyi, tersisa 7 senti
Bumiku sakit, tenggelam 7 senti
Bumiku maut 7 senti

Ada Tuhan, ada malaikat yang sangat dekat.
Dan kita menenggelamkan diri kita bersama-sama dalam dunia.

Bogor, 18 November 2014


♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Bumi Berdiam
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Rindu berkelana mencari,  
Sebelum ditemukan sisa-sisa kepergian dulu
Ada yang datang tanpa menjamah
Ada harapan pada dunia sesaat yang berpesta semenjak malam
Ada yang bertengkar tentang siapa yang membalikkan muka
Bumi yang hangus, gerombolan pemain berlari dan berhura-hura menyambut panas
Ada sepasang ulat mengekor dan duduk di sebelah bapak haji yang menanggalkan kopiah
Angin menyampaikan pada bumi yang tengah berdiam, aku turut berdiam.

Bogor, 13 Mei 2014

 
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Catatan TKW
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Aku adalah TKW (Tenaga Kerja Wanita)
Tanda lahirku di halaman baru yang kau buka
Ada waktu kematianku di bagian belakang yang belum kau sentuh
Lembar-lembarnya yang kau baca adalah ilusi
Lembar-lembar diam, bisu menyaksi

Dongengku di usia belia
Baca halaman terakhir saja
Tempat aku menjadi budak manusia
yang menjatuhkan paksa ke liang kehampaan
Di mana esok halaman terakhir kutulis sepi
Hari ini kukubur diriku dalam-dalam
Hingga tiada yang tau bahwa aku pernah bersuara di tanah yang legam

Bogor, 12 Januari 2014
 

♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Cerita Pagi
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Berdirilah sepi dalam malam yang sunyi, malam yang tengadah di atas kaca
Saling menyahut di sela-sela geraham yang beradu
batuk-batuk keliru

Pagi ini burung berkicau seadanya
Nyatanya lupa dia cara bernyanyi
Terdengar dengung kumbang menerawang
Bertanya ia cara terbang
Terdengar kerbau mengigau
Nyatanya lupa dia cara berkubang
Terdengar anak-anak berlari
Gamang berdiri sendiri
Terdengar ibu guru menangis
Anak-anak lupa isi pancasila
Terdengar orang-orang meringis
Ada yang lupa cara bernafas bagaimana.

Bogor, 03 Mei 2014



♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Daratan Sampah
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Pernah mendengar teriakan manusia tentang puing-puing tak berguna?
Terlupa ia padahal bertanam serupa
Bilamana banjir menjilat daratan mereka
Lirik mata raja tak berdosa diam saja seolah tak berdaya
Mereka amnesia mengamati daratan sampah
Dan kini tiap rumah berlomba-lomba memuntahkan sampah
Menguar busuk
“Kantong kresek lahan  kota kita telah menggunung seribu atau sejuta, untuk anak cucu kita nantinya”, ujarmu sambil tertawa renyah

Bogor, 28  Agustus 2013
 
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Derap
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Derap membisu dan bersalju
Matilah takutku
Takutku mati
Tuhan, pinjamkan aku sebilah pedang
Kuterkam diam-diam bau-bau yang menyusahkan

Bogor, 14 September 2013
 

♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Di Kereta Tua
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Di kereta tua aku melihat ada orang berlari
Menangis dan tertawa sendiri
Ada yang berbicara sendiri
Dua tahun atau tiga mungkin, orang-orang saling bisu dan tak saling sapa
Mereka sibuk dengan mainannya sendiri
Di kereta aku temukan beragam bau yang tak biasa
Ada yang bau kantor, pasar, dan ada bau mahasiswa sedang baca koran
Ia terbahak menertawakan negaranya
Bersenda gurau dengan kawannya dan saling mempersoalkan siapa yang bisa menjadi presiden di tahun-tahun mendatang
Kemudian terbahak sesegukan
Ia hanya berbohong untuk hari ini

Di kereta kutemukan tangis bayi mengerang
di pangkuan ayahnya
Kemudian ayahnya bilang,”ibu telah pergi”
Barangkali maksud  ayah ‘ibu pertiwi’

Bogor, 06 November 2014

♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Di kota, kotakkan
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Kita terlahir dalam kardus
Digendong-gendong membawa ingus
Dongeng ibu semenjak dulu belum terhapus
Kutimang-timang. Mungkin beliau benar, kita di kota sekarang
Jatah tidur kita dikotak-kotakkan
Jatah kita di kota, kotakkan
Di kota kita sekarang
Kita dikotak-kotakkan
Terus-menerus, sampai tempat tidur kita hangus
dan kasur kita pupus
Tanah ibuku kemarin ditaruh dimana?Adakah yang tau?

Bogor, 22 November 2014

♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Di Penghujung Pesta
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Pesta itu berlangsung sederhana, cuma ada  sedikit tangis, basa-basi dan cerita
Tinggal bau rindu yang saling bertegur sapa
Aku ingin mempermainkanmu,
Di malam itu hujan meludah dan saling cemburu,

Siapa yang akan berbicara untuk kami, katamu
Siapa lagi selain kau dan aku

Siapa yang sudah memahami kami,
mungkin aku dan mereka yang datang di waktu pesta

Dan siapa yang bisa memahami bahasa kami
antara aku, kamu, dan hujan

Di penghujung pesta ada hujan yang bertamu dan menyampaikan pesan
Bukan sebatas hujan yang jatuh sesekali membasahi bumimu

Bogor, 03 November 2014

♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Di Sini Aku Tidur
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Bagaimana kalau aku tidur di sini saja
di halaman toko,
Di lorong-lorong rindu yang suaranya terbias dinding-dinding tembok
gelap, ragu berbau amis
Jangkrik akan terbangun di sela-sela murka dan bengis
Tercium angin diantara dedaunan yang berjatuhan
Oh, malamnya semakin gigil
Kutahu rupa bulan tak seperti malam kemarin
Berputar-putar angin berkeliling meronda
Menyelinap di tulang-tulangku
Aku terlelap dalam malam yang seperti kemarin

Bogor, 11 Agustus 2014


♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Doa Sehelai Daun
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Sehelai daun berdoa,
Sambil membakar kemenyan,ia melantunkan syair-syair sederhana berbentuk secarik doa
Segala soal ia muntahkan paksa
Di halaman gadis peminta-minta memanggil namanya, sambil bernyanyi, “Kemerdekaan ialah tanah air beta”
Siluet cahaya membungkuk mencium keningnya, kemudian bertanya, “adakah kau sadar menyanyikannya?”
Gadis itu melompat girang, ternyata masih ada yang mendengar suaranya

Bogor, 03 November 2014

♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Dosa
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Di saat para peladang mengembara mencari-cari simpul senyum persaudaraan
Kita tumpas dengan suasana malam tergelincir bersama setan
Kita pakai tikar pandan untuk sembunyikan busuk kita
Kita sengaja berkumpul di pancuran agar tiada yang mendengar percakapan haram
Curuk yang setia memperingatkan dengan tamparan-tamparan halusnya
Kiranya ada yang terbahak-bahak,  yang suka memperingatkan kita merugi
Kita menghisap sabu dan menyeduh minuman anggur bukan seperti juni dan juli yang datang hanya sekali
Ia membawa rumor memabukkan

Ditemani minuman anggur dan api
Kita sama-sama saling sepadan terbakar
Di bawah surga kita bernyanyi
Perlahan terbakar bersama kayu dan nanah
Yang nanti menjadikan kita debu yang lemah
Lalu kemarin kau ingat kita diterpa gosip murahan tentang minuman haram ini
Suara-suara sumbang dari balik dinding pagi
Lalu kita saling menyalahkan satu sama lain
Kita berlima, aku, kamu, minuman anggur, sabu dan dosa.
Dan menangis berdua sepanjang masa

Bogor, 22 Mei 2014

 ♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Dua pohon
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Pagi itu kau berjanji, ketika bumi tak berputar lagi kau akan disampingku hingga batas terompet terakhir berbunyi
Suatu ketika terjadi goncangan maha dahsyat dan panas merayap, tak seorang pun datang merayu
Berhamburan mereka berputar-putar
Aku diam saja bersama takut dan kekakuan
Seketika itu kau bisikan sapaan senja yang terdahulu pernah disuarakan
''Aku tak ingin sendiri''

Suatu waktu aku tergeletak lemas dengan sekumpulan benda mati dan tercium butir-butir obat dari selang-selang yang menggigit daging-dagingku bagai rayap
Ucapmu selalu itu, ''Aku tak ingin sendiri''

Aku tersenyum kaku, lemas batang tubuhku
Dan mesin tik tak semakin lama semakin
ragu
Raut wajahmu menunjukkan kabar sendu di
musim semi
Kau bisikkan,''Aku akan ikut bersamamu.''
Mana mungkin aku mengizinkan? Sedang kau begitu kucinta hingga nyawa pun tiada

Aku hanya melihat bayang-bayang kabur yang tengah menangis.
Sudah saatnya aku pergi, Bumi

Bogor, 30 Mei 2014

 
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Gadis Peminta-Minta
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Sambil berjalan si gadis mengumbar raut palsu di balik kaca kereta
Berdendang satu dua nada untuk sepenggal mata uang yang bertuliskan angka
Wajah lusuh, terik dan panas bergantian menggoda
Sudah kuterima nasib yang menjadikanku ratu di balik kehampaan mimpi, ujarnya
Melenggang kembali ia ke jalan

Bogor, 21 Agustus 2014

 
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣
Getar-Getar Hujan
♣¤═════¤۩ஜஜ۩¤═════¤♣

Heningku memapar
Di kendi ada genang-genang air
Hasil curian si ‘bapak berdasi’ tadi pagi
Sedikit-sedikit berwarna kuning
Seperti nanah yang meleleh di cucuran mulutnya
Seperti petir dari ujung-ujung jarum jam dinding yang berhimpit
Suaramu ke atas itu
Seperti badai rintik-rintik yang ada di luar
Samar-samar tapi menyesakkan
Tapi kamu terlebih menyesakkan

Bogor, 27 April 2014

Total comment

Author

Triana Irsyad

0   komentar

Posting Komentar

Cancel Reply