Formulir Kontak

 

Engkaulah alasan yang terbaik bagiku.

Mama, papa, ketika aku menemui kegagalan. Tahukah kalian apa hal pertama yang membuatku menangis? Aku teringat wajah kalian, dan meratapi kenapa aku mengalami kegagalan dan mengecewakan. Ma, pa, sungguh, tak ada niat sekalipun untuk itu. Kadang Tuhan mengujiku dengan hal-hal kecil yang kuanggap besar. Tuhan menguji kedewasaanku Ma, Pa. Tuhan ingin melihat seberapa mampu aku menyelesaikan masalah.
Ma, Pa, maaf. Hingga detik ini, setiap menemui kebuntuan aku selalu mengadu pada kalian. Pernah kucoba untuk menahan diri dan berpura-pura tegar, tapi aku tidak kuat. Terasa ada sesuatu menghantam. Aku masih belum cukup dewasa ternyata. Bahkan ketika sakit, aku pernah mencoba untuk tidak memberitahu, alhasil demamku berkepanjangan. Pada akhirnya pun kalian tahu, di saat kalian menelpon, setiap minggu. Terdengar suara yang berbeda. Kemudian kalian bertanya apa aku baik-baik saja? Aku jawab,ya. Ah, aku bohong dan pasti kalian tahu.
Padahal aku sengaja untuk menutup-nutupi agar kalian tidak kepikiran. Maaf ma, pa, aku terlalu sering membebani.
Mama, papa,ketika aku menemui kesuksesan. Tahukah kalian apa hal pertama yang membuatku tersenyum? Aku teringat wajah kalian, dan mensyukuri anugrah Tuhan yang bertubi-tubi ini.
Sampai kapan pun ma, pa, aku selalu ingin setiap langkahku membuahkan senyum merekah di bibir mama dan papa. I love u, Mom and I love u, Dad. Engkaulah alasan yang terbaik bagiku.



Total comment

Author

Triana Irsyad

Cerbung: Jendela Kampus (part2)



Teman,kenapa kunamai cerbung ini dengan “jendela kampus”, sebab di saat kubuka jendela, ada dia yang waktu itu membalas senyumku. Ada dia yang sejak saat itu masuk keruang kelasku menghadirkan rona berbeda. Jika aku boleh jujur, bukan ia yang membuatku jatuh cinta untuk kali pertama. Tapi sahabatnyalah. Cantik dan menawan rupanya. Tapi setiap kali aku ingin mengetahui tentang sahabatnya secara diam-diam, banyak pula kutemui tentangnya. Mereka begitu dekat. Kemudian tanpa sengaja jemariku mengklik profil dirinya. Biasa saja awalnya. Atau mungkinkah cinta itu tumbuh karena terbiasa? Terbiasa bertemu setiap minggu. Bahkan seminggu bisa berkali-kali. Karena takdir membawaku ke laboratorium untuk menyengajakan aku bertemu denganmu. Beruntung aku bisa mendapatkan proyek penelitian eksakta. Di saat aku ingin mengisi buku daftar hadir pengunjung labor, dia yang tengah asyik menimbang-nimbang bahan kimia waktu itu mengangkat kepala ke arahku. Jarak kita sekitar dua meter. Meski menggunakan masker, aku tau ia tersenyum kepadaku dan aku membalasnya dengan tulus. Waktu itu, belum juga hadir perasaan seperti ini.
Tepatnya setelah kita tidak saling tersenyum lagi, aku berpura-pura cuek setiap kali bertemu. Perasaanku kepadamu kekasih. Aku mulai jatuh cinta kepadamu. Berawal dari iseng mengirim pesan singkat melalui sosial media kepadamu, lama-lama aku jatuh cinta setelah percakapan itu. Hingga sikapku sedikit gila. Setiap hari langkahku terburu-buru menuju kampus, ingin menjumpaimu dalam momen ketidaksengajaan. Seperti dulu sayang. Di saat aku belum menyadari betapa berharganya dirimu.
—bersambung—
Note: jika ada kesamaan momen, hanyalah kebetulan sebab ini cerita hanyalah fiktif belaka :)
makasi buat teman-teman yang udah baca :)))
#salampulpen





Total comment

Author

Triana Irsyad

Cerbung: Jendela Kampus



Sudah beberapa kali aku jatuh cinta, tentu setiap kali merasakan selalu ada perasaan khusus. Namun kali ini aku membiarkan alam liarku bekerja. Duhai kekasih yang selalu kutunggu kesempatan untuk bertemu. Inspirasi menulisku. Kau adalah alasan setiap kata puitis itu terlahir. Ada rasa takut yang pernah menghantui di saat aku tau ada orang lain di setiap doamu. Bukan aku, kekasih. Aku tetap sabar menunggu di saat yang tepat. Menjadi penguntit diam-diammu. Pengagum rahasiamu. Teman pengantar pulang ke kosan yang belum pernah kau sadari. Maaf aku selalu mengikutimu di saat perjalananmu pulang. Hanya ingin memastikan bahwa kau sampai dengan selamat dan baik-baik sayang.
Kekasih, suatu saat aku memberanikan diri untuk berkenalan denganmu di sosial media. Terima kasih atas sambutanmu yang ramah. Kemudian, aku mencoba mendekatimu lebih dalam dengan meminta nomor teleponmu. Aku bersyukur kau memberikannya, walau kau memberi pertanyaan awal yang sulit aku balas dengan kalimat jujur,”untuk apa memang?”
            Kemudian aku balas,”untuk sharing mengenai kepenulisan.” Ah, itu alasan klise, namun beruntung kau memberikannya. Jika kau ingin tahu, inilah alasan sebenarnya: 1. Aku jatuh cinta kepadamu, 2. Aku jatuh cinta kepadamu, ingin mengenalmu, 3. Aku jatuh cinta kepadamu, ingin mengenalmu dan menjadi bagian kebahagiaan dalam hidupmu, dan alasan ke empat adalah sebab aku jatuh cinta kepadamu, ingin mengenalmu dan menjadi bagian kebahagiaan dalam hidupmu, dan ingin tetap jatuh cinta kepadamu. Itulah kekasih, semoga engkau tau dan membaca postinganku ini.
Kekasih, masih ingatkah? Di saat setelah aku mendapat nomor teleponmu, kebiasaanku masih sama, menjadi pengikut diam-diam. Di sore itu, di saat hujan datang, mungkin waktu  yang tepat. Kau secara tidak sengaja melihat kebelakang dan menemukan aku di bawah guyuran hujan. Kau  bertanya,” kamu mau kemana?”
            Aku ingin mengantarmu.
Lalu kau memandangku dengan tatapan yang aneh, maaf kekasih aku belum bisa jujur.
“Aku hendak ke rumah teman”
“Gak bawa payung?”
Aku menggeleng, kemudian kau memberi tawaran, “Mau nebeng?” meskipun kau sedikit khawatir karena harus sepayung berdua dengan aku.
“Tidak usah, sudah terlanjur basah”
“Gak apa-apa, sini. Bentar lagi aku nyampe kosan, nanti kamu bawa payung aku aja”
“Gak usah, udah terlanjur basah”
Kamu mengerlingkan mata.
Lebih tepatnya, terlanjur jatuh cinta,  itulah sebab aku ada di sini. Di dekat kamu.
“Rumah teman kamu deket mana?”
“Nggg, disebelah sana,” jariku menunjuk ke arah kanan dari kosanmu
“Oh,temannya cewek?”
“Gak, cowok”
“Bukannya itu kosan cewek ya?”
“Eh, maksudku yang di sebelahnya lagi.” Maaf aku ngarang.
Akhirnya tiba jua di kosanmu. Ah, kenapa jarak kosanmu terlalu dekat. Terlalu cepat pembicaraan ini berlalu.
“Ini, payungnya bawa aja”
Aku masih diam menatapmu.
“Ng, aku masuk dulu ya. Apa mau nungguin reda dulu?”
“Oh, iya maaf. Aku langsung pergi aja. Terima kasih, kekasih
“Sama-sama”
                                                bersambung
Semoga esok berjumpa kembali. Cinta yang kubungkus untukmu setiap pagi. Kamu adalah rangkaian doa yang tak terlupakan




Total comment

Author

Triana Irsyad

Respect dan Perhatian



Entah kenapa senang banget mengangkat topik ini. Sesuatu yang mudah untuk diucapkan, tapi begitu sulit untuk dipraktekkan. “Respect”, ya kata yang satu ini perlahan sudah mulai memudar. Kelihatan banget kalo orang suka beda-bedain kita dari kayanya kita, parasnya kita, prestasi kita, kepintaran kita. Ah, padahal itu hanya sekedar hiasan dunia (ziiip, dalem).
Gak tau sih, apa hanya aku yang ngerasain apa gimana. Sebenarnya kalo dilihat sekilas ya gak keliatan banget, cuma karena dari SMA seneng liat karakter orang-orang yang di sekitarku jadinya sedikit banyak bisa mengetahui (ati-ati loooh..., ntar karakter kamu bisa kebaca, hahah). Well, pernah pengalaman (waktu SMA). Bisa dibilang aku gayanya biasa-biasa aja, orangtua ngajarin aku buat hidup sederhana, kalo dari segi penampilan aku sama kayak yang lainnya.
Suatu pagi hujan deres banget (setiap hujan aku gak diizinin buat bawa motor. Dianterin papa, supaya anaknya sang generasi penerus bangsa ini gak kehujanan (alay si Tri). Pas sorenya hujan lagi, kalo gak hujan aku kan bisa pake ojek. Jadinya gimana? Ya, papa ngejemput lagi (papa always the best in my heart, cinta papa sangat).
Masuk ke inti cerita nih, jadi waktu itu banyak banget yang nongkrong di depan sekolah sambil nungguin hujan reda, aku gak mau kalah buat ikutan, ikutan nonton hujan (Aku ingin sederhana, bukan sesederhana ranting yang mudah terpatahkan. Aku ingin sederhana, sesederhana hujan yang jatuh ke bumi, dengan iringan melodi di tiap rintiknya) —tetiba jadi puitis. -----Gak lama dari itu, papa datang ngejemput. Serr,, aku langsung naik ke mobil, berasa banyak yang memperhatiin sih.
Besoknya? Tiba-tiba ada yang nanya,”Tri, kemaren itu papanya ya?”
Aku jawab,”iya” (Cuma gitu doang, maklum sewaktu SMA aku cuek banget).
“itu mobil papanya?”
(Ampun dah, nih orang pake nanya mobil segala, gak ada pertanyaan lain?) “iya (2)”
“kalo di rumah kamu di kekang gak”
“Maksudnya?”
“Ya, misalnya buat keluar malam ada batasannya gitu?”
“Gak di kekang kok, tapi kalo buat keluar malem batasannya ya magrib, itupun harus jelas dari mana aja”
“oh,iya? Masa gak sampe jam 9 malem? Aturannya ketat ya...”
“Emang gak boleh, kecuali pas buka puasa bareng”
—End—
Ada 2 poin yang aku simpulkan dari pembicaraan ini
1.  Dia jadi berubah dari yang awalnya cuek sama aku, jd rada gimana gitu sejak dia tau kalo di rumah ada mobil. Soalnya setelah pembicaraan itu dia selalu ‘manis’ di depan aku. Dia menghargai aku karena materi. Sebenarnya gak apa-apa sih, tapi aku lebih menghargai orang yang menerimaku apa adanya.
2.   Aku beruntung punya keluarga yang menurut beberapa orang punya aturan ‘ketat’, so far nyaman-nyaman aja tuh soalnya aku anak rumahan banget. Makin ke sini aku bisa liat keluarga secara out of the box, ngebandingin dengan keluarga teman-teman misalnya. Mungkin agak jarang kalo pas acara buka puasa bareng selalu di teleponin trus ditanyaain, ”pulangnya kok lama? Jangan kelamaan ya” (ini telepon dari mama).
“Udah jam setengah sembilan, ayok pulang. Nanti kemalaman (ini telepon dari kakak  setengah jam berselang, yang waktu itu juga lagi di rumah barengan sama mama, papa, adek dan kakak yang satu lagi). Saat itu aku merasa agak risih sih, teman-teman yang lain kok dibiarin aja, aku diteleponin mulu ih.
Tapi sekarang merasa banyak yang memperhatiin, hehe. Keluarga selalu menempati ruang yang sangat spesial di hati.
Pas kuliah di IPB, jujur, aku sering pulang jam 21.00 atau 21.30. Ini semata-mata bukan buat pelampiasan akibat ‘keterkekangan’ yang dianggap orang tapi aku pulang rada lama soalnya jadi ‘orang sibuk’ (cap dari teman-teman) di sini. Menghadiri rapat, persiapan acara, dll. Dijamin keluarga tau kok dengan kegiatanku. Well, segitu dulu (jadi kebanyakan curhat). O ya, mau klarifikasi juga, aku gak sibuk-sibuk banget kok, buktinya setiap ada kegiatan ngumpul sekelas aku selalu bisa ikutan, mungkin kadang datang agak telat karena jadwal bentrok dengan kegiatan yang lain, maaf yaaaaa.

Total comment

Author

Triana Irsyad

Kekasihku adalah Kamu



Entah Tuhan akan mengizinkan atau tidak, tapi aku selalu menganggap kekasihku adalah kamu. Tak peduli orang percaya atau tidak, aku meyakini kekasihku adalah kamu. Meskipun hal buruk yang dikatakan orang tentang kamu, aku selalu  mengatakan kepada orang-orang bahwa kekasihku adalah kamu. Segalanya adalah tentang kamu, karena tak adapun yang dapat menghalangi khayalanku.
Hai, kekasih yang hidup di saat cahaya itu datang (bersambung...)

Total comment

Author

Triana Irsyad