Dengar, lantunan itu seakan bersuara memanggil namamu,
mendekat dan semakin dekat langkahmu. Bukan berarti pertanda kepergian kembali
terulang. Tapi berpisah dalam waktu sesaat, sesaat yang barangkali membuatmu
terluka ataupun merindu untuk bertemu ia kembali.
Derap langkah itu
semakin terdengar lemah, sesekali kakek menengok kebelakang, melihat apakah Zakia
masih kuat menggotong kayu bakar itu. Sebetulnya ia sudah tidak tega, tapi Zakia
yang memaksa untuk tetap ikut.
Dengan gotongan yang
dua kali beratnya badan Zakia, kakek melangkah lelah. Namun melihat wajah lugu cucunya
yang selalu tersimpul senyum, keringat bercucurpun mengering dan semangat
menyembul untuk segera melangkah sampai di rumah.
Barangkali Zakia iba
melihat kakeknya sendirian berjalan di tengah hutan. Ia berpikir, jika tidak
ikut, kakek harus dua kali bolak-balik ke hutan yang jaraknya cukup jauh dari
rumah.
Zakia merupakan cucu
kedua dari pak Ibnu (kakek). Orangtua Zakia telah meninggal lima tahun yang silam
akibat longsor. Kini Zakia tinggal bersama kakek dan abangnya yang bernama
Akram. Zakia yang kini berusia sepuluh tahun begitu dekat dengan kakeknya,
sebaliknya dengan akram. Sejak ditinggal oleh ayahnya, Akram tumbuh menjadi
anak yang keras dan tidak penurut. Ia lebih suka berkeliaran. Bahkan terkadang
bersikap kasar.
Acapkali akram merusak
barang-barang yang ada di rumah untuk pelampiasan amarahnya. Kakek sudah sangat
sering menasehati Akram namun ia malah memberontak dan mendorong kakeknya tanpa
belas kasih. Peristiwa itu masih hangat diingatan kakek bahkan luka yang masih
membekaspun bisa menyaksi hingga kini.
***
Jum’at yang cerah
menjadi saksi peristiwa itu. Kakek memanggil Akram untuk megajak shalat jumat. Tidak
seperti biasanya kini Akram menolak untuk pergi bersama. Beberapa minggu ini
kakek memperhatikan Akram tidak pernah terlihat di mesjid yang ada di desa.
Akram mengaku shalat jumat di desa seberang. Kecurigaan kakek mulai muncul.
Setiap masuk waktu shalat, Akram selalu keluar rumah dan mengaku telah shalat.
Kakek mulai khawatir, cucu lelakinya kini telah berusia lima belas tahun namun
pertambahan usia tidak membuat Akram semakin taat malah semakin jauh dari
agama.
Berkali-kali kakek
mencoba menasehati, berkali-kali pula Akram memberontak.
“Ayo bersama-sama
shalat jum’at di mesjid al-Irsyad.”
“Kakek duluan saja, aku
menyusul nanti,” jawabnya ringan
Kakek
pun berlalu ke mesjid. Setelah selesai shalat, kakek memperhatikan disekeliling
dan seperti minggu-minggu biasanya kakek tidak menemukan Akram di sana. Kakek segera
pulang dan mencari Akram, dan ia pun menemukan akram tengah duduk santai dengan
menggenggam sebatang rokok di jemarinya. Dengan sekali-kali mengepulkan asap di
mulut.
Kakek
mendekat, dan meyakinkan dugaannya, “Sepertinya setelah beberapa minggu ini
kakek tidak pernah melihatmu shalat lima waktu dan shalat jum’at.”
“Ah,
kakek sok tau. Aku shalat di desa seberang seperti yang udah aku bilang.” Akram
membela diri.
“Akram,
shalat itu tiang agama, wajib hukumnya. Kamu tidak boleh meninggalkan walau
sekalipun,” nasehat kakek.
“Ini si tua sok menasehati banget sih!” Akram
membathin kesal.
Tiba-tiba
zakia mendekat, “ iya kek, bang Akram gak kemana-mana dari tadi. Bang akram
duduk-duduk saja di rumah, gak shalat”
“Jangan
sok tau deh Zakia, dan jangan ikut campur!” emosi Akram menaik
“Tuh
kan, adik kamu saksinya. Kamu itu kenapa? Gak bisa dinasehati?”
“Kakek
itu yang kenapa? Sok peduli padahal sebenarnya gak peduli. Kakek merawat kita
itu cuma buat memanfatin aja! Iya kan?” Akram berdiri dan menancapkan puntung
rokok di tangan kanan kakek sedalam-dalamnya. Kakek meringis kesakitan
“Bang
Akram, sudah. Jangan sakiti kakek!” Zakia mencoba melerai.
“Kamu
itu mau saja membela kakek sialan ini, kita gak pernah di kasih kehidupan yang
layak seperti yang diberikan oleh ibu dan ayah. Gara-gara kakek aku sering
diledek teman-teman karena gak bisa mentraktir
teman, gak punya motor!”
Sejak
peristiwa itu Akram melarikan diri entah kemana dan tidak berpamitan
sedikitpun. Zakia begitu sedih karena saudara satu-satunya pergi
meniggalkannya. Kini hanya tinggal kakek. Sepi semakin menyelinap di hatinya.
Sudah
beberapa bulan ini, kakek tengah sakit-sakitan. Tidak bisa berbuat apa-apa
selain berbaring di tempat tidur. Berobatpun tidak ia lakukan megingat biaya
yang tidak ada. Namun diam-diam Zakia berangkat ke hutan untuk mencari
potongan-potongan kayu yang mungkin pohonpun
sudah tak butuh lagi hingga melepas bagian tubuhnya dan melemparkan ke tanah, tentang sebuah perkara yang menakdirkan
untuk berpisah. Oh, lagi-lagi ada kata ‘berpisah’. Jika saja Zakia mendengar
ada kata berpisah dari mulut orang-orang yang ia cintai, tentu dia akan memilih
lebih baik dia yang pergi.
Seperti
seekor burung yang menanti kawanan untuk terbang, Zakia malam ini tengah
melamun di dekat jendela. Menatap langit yang dilingkupi atmosfer cinta para
bintang. Sambil sesekali tersenyum. Setidaknya bintang bisa mendengar suara
hatinya yang tengah mendung dan memberi secercah cahaya untuk tersenyum.
***
Hari
ini adalah hari pertama memasuki ramadhan, Zakia dan kakek menyambut dengan
suka cita.
Namun ada yang berbeda dengan ramadhan kali ini. Biasanya mereka menyambut
ramadhan bertiga dengan bang Akram. Namun keberadaan Akram entah dimana saat
ini. Ia telah pergi hampir setahun. Rasa sedih yang bergelayut segera ditumpas
karena Zakia masih memiliki kakek yang selalu menjaga dan menyayanginya.
“Kakek
gak akan akan ninggalin Zakia kan seperti yang dilakukan bang Akram?”
“Insyaallah
tidak Za, nanti pun kalau kakek pergi
ingatlah Allah yang selalu menjaga dimanapun kita berada.”
Zakia
selalu senang mendengarkan nasehat-nasehat kakek. Zakia berjanji dalam hati,
selalu ingat pada nasehat-nasehat itu.
“Za,
kalung ini untuk kamu. Kakek dapatkan dari hasil tabungan. Lihatlah permata
ini. Meskipun kecil, ia tetap bersinar dan indah. Selalu berwarna. Kakek ingin
kamu seperti permata berwarna pelangi ini juga. Meskipun kita rakyat kecil dan
tidak memiliki apa-apa, tapi kita tidak boleh menghilangkan keindahan sikap yang ada di hati
kita, kita harus tetap menjaga iman. Hidup mandiri dan bersinarlah selalu seperti
pelangi yang setia berbagi kebaikan.”
Malam ini begitu indah.
Kakek memberikan sebuah kalung dengan permata pelangi pada Zakia. Itu adalah
benda-satu-satunya yang berharga yang diberikan kakek.
Pagi
ini Zakia berangkat diam-diam lagi ke hutan. Seperti biasanya setelah
mengumpulkan kayu ia akan menjualnya ke pasar. Biasanya kakek selalu bertanya
kemana ia seharian dan tidak terlihat. Zakia memberi alasan belajar ke rumah kak
Sutri, satu-satunya anak desa yang memiliki kesempatan untuk mengenyam bangku
pendidikan hingga SMP. Kakek pun tidak menaruh curiga. Dari hasil megumpulkan
kayu di hutan, Zakia sudah bisa mengumpulkan sejumlah uang dan berniat siang
ini akan membawa kakek ke puskesmas yang jaraknya cukup jauh dari rumah.
Dengan
bersemangat Zakia berlari pulang setelah
menjual hasil kayu yang dikumpulkan. Zakia membuka pintu kamar dan bersorak, “Kakek,
aku punya uang, kita berobat yuk.”
Namun ajakan Zakia tidak di hiraukan
kakek. Kakek begitu lelap. Zakia enggan membangunkan kakek sekarang. Ia pergi
ke dapur dan memasak sayur untuk makan siang kali ini. Setelah nasi dan sayur
terhidang di meja, Zakia mengambilkan sepiring untuk di bawakan ke kamar kakek.
Untuk berdiripun kakek tidak sanggup, hanya bisa istirahat di atas kasur.
“Kek,
udah waktunya makan siang, makan yuk. Biar kakek cepat sembuh,” Zakia pelan-pelan
membangunkan kakek.
“Kek,
ayo makan dulu. Sehabis ini berobat biar penyakit kakek cepat sembuh.” Zakia
mulai bingung. Biasanya tidak sesusah ini membangunkan kakek. Mulai muncul
perasaan was-was. Zakia mengguncang-guncang bahu kakek, namun kakek tidak juga bangun. Perlahan-lahan pikiran Zakia melayang
kepada kemungkinan terburuk. Zakia langsung berlari ke rumah pak Daus, tetangga
mereka.
Setiba
di rumah Zakia, pak Daus memeriksa nadi kakek dan tanda-tanda berdenyut tidak
ada lagi. Pak Daus yang ditemani oleh istrinya menarik nafas dan menatap sendu
wajah Zakia. Zakia tengah menangis sejadi-jadinya. Istri pak Daus merangkulnya dan
membisikkan dengan halus agar tetap tabah. Namun Zakia tidak bisa berhenti
menangis. Kakek yang sangat ia cintai kini telah tiada. Pergi untuk selamanya.
Hudup
sebatang kara tanpa sanak saudara mungkin tidak pernah terpikirkan oleh seorang
anak mandiri seperti Zakia. Sedih, tentu. Tapi dibalik kesedihan itu Zakia selalu
ingat pesan kakek, ingatlah Allah yang
selalu menjaga di manapun kita berada.
Pun
pesan kakek yang terakhir di malam yang indah itu, “Hidup mandiri dan
bersinarlah selalu seperti pelangi yang setia berbagi kebaikan”.
Kini usia zakia telah
dua belas tahun. Pekerjaan sebagai pengumpul kayu bakar masih tetap
dilakoninya. Selain itu Zakia telah memiliki pekerjaan baru yaitu menjahit
mukena. Dibandingkan dengan
anak sebayanya, Zakia begitu telaten
dan disiplin dalam berkerja. Meskipun tidak mengecap bangku pendidikan namun Zakia
sangat ingin sekali menjadi orang sukses. Ia percaya jika bekerja keras dan
sungguh-sungguh serta menyerahkan segalanya kepada Allah akan selalu ada
kemudahan yang akan ia dapatkan.
Sudah
hampir genap setahun Zakia tinggal sendiri, tidak ada yang mengangkat dia
sebagai anak, mengingat rata-rata perekonomian masyarakat setempat adalah ekonomi
rendah.
Bulan depan sudah
memasuki ramadhan, dan Zakia terenyuh kembali. Ia tinggal seorang diri dan
melewati ramadhan kali ini juga seorang diri. Terbesit kerinduan kepada kakek.
Pun pada bang Akram. Zakia pun berbicara dengan hati, kalaulah bang Akram tetap
di sini tentu ia tidak akan sendiri menjalani kehidupan ini. Ia ingin bang Akram
kembali.
Shubuh di hari pertama
ramadhan Zakia menyempatkan shalat di mesjid. Hampir sama di hari-hari
sebelumnya ia selalu menyempatkan shalat
di mesjid bersama rombongan ibu-bu yang sudah lanjut usia.
Ketika sudah balik dari
mesjid, ada seorang sosok lelaki yang tengah duduk di dekat pintu rumah. Zakia
penasaran dan sedikit ragu-ragu untuk mendekat. Sambil mengucap salam ia
perlahan melangkahkan kaki menuju rumah. Sosok lelaki itu mengangkat muka.
Wajah yang sudah tidak asing lagi baginya. Bang Akram kembali. Namun dengan
wajah yang penuh luka-luka. Entah apa yang terjadi. Setelah Zakia mendesak
bertanya bang Akram hanya cerita bahwa ia dipukuli karena mencopet. Kini ia
berjanji akan berubah jadi
lebih baik. Ia pun menyesal karena pernah menyakiti kakek. Kini kakek telah
tiada, ia tak tau harus melakukan apa. Lalu siang itu Zakia mengajak bang Akram
untuk berziarah di makam
kakek sekaligus mendoakan agar kakek selamat dan jauh dari siksa kubur.
Ramadhan kali ini
muncul kembali pelangi di hati Zakia. Ia kini tidak sebatang kara lagi. Paling tidak
ada tempat berbagi di kala susah dan senang. Pelangi yang setiap waktu selalu
ada, dan kini pelangi itu muncul di tengah ramadhan. Ramadhan yang selalu diwarnai dengan
warna-warni. Meski tahun lalu warna itu meluntur dan gelap, saat-saat kepergian
kakek. Namun ia merasa gelap itu masih diwarnai nasehat kakek yang begitu
indah. Sedang ramadhan kali ini, muncul warna baru yang tidak asing, bang Akram
telah kembali bersama penyesalan yang membentuknya menjadi pribadi yang lebih
baik.