Nyanyian Sumbang Seorang Penyair
semalam ada yang bernyanyi di
halaman rumahnya
bertanya-tanya ia,
seperti sebongkah tangis yang dicoba disuarakan
pada bait-bait puisinya
sesekali menghitung kehidupan dengan
aljabar,
menerka-nerka. Telah habis usianya
tenggelam dalam puisi
abjad latin sekalipun belum mampu
bercerita
telah habis waktunya bergelut dengan
puisi
belum ada yang melirik susunan kata itu
rambutnya kian memutih,
aku tau, kamu tau, bayangan gelap di bawah matanya
pada sebuah petang yang menjanjikan
takdir malam
tidak pernah sedikitpun ada air mata
kebencian, pada sosok penyairku
alam membisu, dan cahaya bulan tampak
memucat
tidak pernah sedikitpun sesal di hatinya
di kala kata mencambuk kejujurannya,
tak pernah lelah ia menjawab dengan
puisi
semalam bibirnya gemetar, mengadu pada Tuhan
nyalinya tak pernah ciut, sekalipun ada
cemooh yang menjadi benalu
pada bulan-bulan yang pernah rapuh
pada buih yang menepi masih tersimpan
harapan
bahkan ada yang menatap galak pada belaian
lembutnya pada puisi
ada yang mencemooh
ada yang membuang
imannya tetap berpijar pada keyakinan
“sebongkah karya untuk negeri ini, untuk
bingkai Indonesia,” bisiknya.
Dramaga,
25 April 2015