Maudy menghirup
nafas dalam-dalam, aroma daun yang ia cintai. Membentang luas. Sejenak dia memejamkan
mata dan merasakan semilir angin membelai lembut rambutnya, hingga bergantian
dengan kawanan angin selanjutnya. Ia sangat menikmati suasana pagi ini. Dian,
kakaknya berada beberapa langkah di belakangnya. Maudy yakin kak Dian juga tengah menikmati
pemandangan ini. Maudy membentangkan tangan. Benar kata mama. Di sini sangat berbeda, bathinnya berbisik.
“Bukankah di
sini kita akan lebih baik? Dengan semilir angin yang tidak ragu menyapa ramah,
dengan pucuk-pucuk hijau dalam kemasan lukisan terdampar. Lihat pula penduduk
berjalan dengan bakul yang setia digendong di belakang. Setiap pagi hingga sore
kita bisa bercengkrama dengan rombongan daun penghuni bukit ini. Sesekali aku
akan bawa kakak berada di tengah-tengah hamparan yang menghijau. Oh tidak,
bukan sekali-kali maksudku, kapanpun kakak mau aku akan mengantarkan kakak ke
lukisan yang mempesona ini. Kakak senang dengan tempat ini? Kalau tidak, aku
akan mencarikan tempat lebih baik. Bagiku tak apa kita berpindah hingga seribu
kalipun, asalkan kakak bisa tersenyum setiap paginya. Kakak kenapa diam saja?
Kakak marah karena aku memilih tempat ini? Atau kakak lebih memilih tempat
lain? Aku akan mencarikan. Bilang saja.”
Maudy kemudian
memutar badannya dengan senyuman yang masih mengambang dan seketika kecut
karena ia tidak menemukan kak Dian yang seharusnya masih berada di belakangnya.
Dengan sedikit was-was, ia berlari ke dalam dan memeriksa setiap sudut rumah.
Rasa khawatir semakin bergejolak ketika orang yang di cari tidak ditemukan. Ia
kembali ke halaman dan bertanya pada seorang yang bisa dibilang tidak ia
ketahui namanya.
“Maaf, kamu
melihat kakakku yang pakai kursi roda lewat di sini?”
Pemuda
itu tersenyum, sambil menunjuk sedikit ke arah hamparan kebun teh. “Itu
kakakmu?”
Maudy menarik
nafas dalam-dalam. Akhirnya menemukan orang yang di cari. Entah kenapa kak Dian
begitu cepat menghilang.
“Kenapa kamu membawa
kakakku ke sini?” emosi Maudy agak tertahankan. Lelaki ini mencoba menculik kakakku. Apa yang ia inginkan? Tebusan?
Mentang-mentang kami masih baru di sini makanya seenaknya dia menipu kami?
Sepertinya lelaki
ini bisa membaca raut was-was yang dirasakan Maudy. Semua isi kepalanya seolah
terbaca dengan jelas.
“Sssttt, aku gak
maksud menculik kok. Kalo aku mau menculik buat apa coba? Minta tebusan?
Mentang-mentang orang baru makanya aku nipu seenaknya? Gak lah. Aku pengen
liatin pemandangan luar biasa ini kepada
Dian,” ucapnya santai.
Apa? Orang ini bahkan tau nama kakakku? Bukannya ini
kali pertama mereka berjumpa? Jangankan sempat ngobrol, aku kan baru beberapa
menit kehilangan jejak kak Rena.
“Kamu siapa?”
tanyaku Maudy ragu-ragu
“Aku Adi— Adipati Nugraha, teman SMP Dian.
Udah lama banget aku gak bertemu dia. Berhubung kemaren pak lurah ngasih tau
ada pendatang baru di kampung ini, dan kebetulan namanya sama persis dengan
teman SMP-ku, makanya aku datang ke sini. Dan ternyata benar dugaanku, dunia
memang sempit ya. Dan kamu adiknya—
Maudy Ayunda kan?”
Belum sempat Maudy
menjawab, kak Dian memanggil. Ternyata kak Dian tau kedatangan Maudy. Dari
kejauhan Dian melambai tangan dengan senyuman merekah. Maudy tak mengerti
dengan sikap kak Dian kali ini. Sepertinya
kak Dian sudah begitu bersahabat dengan alam ini, tidak seperti kali pertama
menapaki tempat-tempat baru.
Maudy berjalan
mendekati kak Dian yang duduk di kursi roda. Dia menyaksikan keakraban Adipati dengan
kak Dian. Adi berceloteh dan mencoba mengingat kembali masa-masa SMP mereka
yang telah terlewati. Dan mungkin inilah saat yang tepat untuk membiarkan kak Dian
kembali bisa tersenyum. Bukan berarti kak Dian tidak pernah senyum selama ini,
namun untuk tersenyum lepas seperti itu sudah sangat lama sekali ia tidak
melihat. Mungkin akibat kecelakaan yang terjadi dua tahun silam yang
menyebabkan kak Dian lumpuh total. Dan semenjak itu jugalah, Maudy merasa
bertanggung jawab untuk membantu apapun yang ingin di kerjakan kak Dian.
Ia kembali melangkah
menuju rumah. Hanya berselang beberapa langkah, ia dicegat kak Dian. Dan
terpaksa ia harus duduk bersama kak Dian dan Adipati, yang sekarang ia panggil
bang Adi. Bukan karena ia tidak senang kondisi saat ini, melainkan ia hanya
berniat untuk membiarkan kak Dian berduaan dengan bang Adipati—ingin melihat kak Dian tertawa lepas
dari kejauhan.
Hari-hari terlewati dengan menyenangkan di sini. Hampir
setiap sore bang Adipati yang berstatus mahasiswa jurusan sastra yang juga
berprofesi sebagi pemetik teh, singgah ke sini hanya untuk bertamu sejenak. Dan
lambat laun pula entah apa yang dirasakan Maudy kepada cowok bermata coklat
ini. Tapi dalam waktu bersamaan kak Dian juga merasakan apa yang dirasakan Maudy.
Tapi diam-diam kak Dian menyusun rencana.
“Hai maudy!”
Ketika tengah asyik menyiram bunga-bunga koleksi mereka,
Maudy dikejutkan dengan sapaan yang terdengar tidak asing lagi.
“Kak Dian ada di dalam, aku panggilin dulu ya”
“Gak usah. Maksudku nanti saja. Aku sebenarnya pengen ngomong
sama kamu,”
“Tentang apa?” Maudy penasaran
Pertanyaan Maudy tidak di jawab oleh Adi, sesaat kemudian
kak Dian keluar tersenyum melihat tingkah aneh mereka berdua. Kak Dian
menyarankan agar mereka menghirup udara segar di luar. Dan meskipun sedikit
canggung. Mereka menuruti ide kak Dian.
Jalanan memang
panjang, tapi jika kita hanya berdiri dan keliling-keliling di situ saja tidak
akan terasa jalanan itu panjang dan indah. Dan keindahan itu akan terasa kalau
kita telah melewati lika-likunya.
Adipati sewaktu di tengah jalan pernah berucap begitu
tapi entah apa maksud ucapannya itu, membuat Maudy tak mengerti. Dan sepulang dari pasar Maudy langsung
menceritakan setiap kejadian pada kakak yang sangat ia sayangi ini. Dian
sebagai kakak hanya tertawa melihat tingkah laku Maudy.
Setelah beberapa bulan mereka pergi jalan dan belum juga Maudy
di tembak oleh Adipati, bahkan dua bulan belakangan ini Adipati seolah
menghindar dan jarang bertamu lagi. Maudy mencurahkan semua yang ia rasakan
kepada kak Dian dan berbagi tentang bathinnya yang semakin meragukan apakah Adipati
serius menganggapnya orang yang spesial atau hanya sebatas teman. Dan sebagi
kakak, Dian terus meyakinkan Maudy bahwa Adi sungguh-sungguh.
Akhirnya tiba juga waktu yang ditunggu dan dinanti-nantikan
Maudy. Suatu pagi ketika aroma teh masih merebak meniupkan asmara-asmara yang
dirasakan seorang gadis pendatang di desa. Adi datang membawa sekuntum bunga
favorit Maudy, mawar putih. Dan ketika mengajak Maudy jalan untuk kesekian
kalinya, Adipati akhirnya mengungkapkan perasaannya kepada Maudy. Soelah
dedaunan teh ikut menari mendengar bisikan hati Maudy yang tengah merekah. Ia
berbisik, kak dian benar, akan ada
waktunya.
Saat bersih-bersih rumah, Maudy tidak sengaja menjatuhkan
buku diari kak Dian— awalnya dia tidak bermaksud untuk membacanya.
Karena terselip bunga anggrek, Maudy berniat untuk melihat anggrek itu saja,
tapi tidak sengaja ia membaca halaman curahan hati kak Dian yang ditujukan pada
Adipati. Meskiput tanggal surat ini sudah satu tahun yang lalu. Itu berarti kak
Dian lebih dulu merasakan getaran cinta kepada Adipati.
Maudy sedih dan sangat merasa bersalah. Takut kak Dian
mengetahui, ia merapikan buku itu kembali. Ia dengan sigap membersihkan rumah, berharap
setelah ini ia bisa bertindak sesuatu. Tapi apa? Dia masih bingung dengan
perasaan yang berkecamuk di hati dan pikirannya.
Siang itu setelah berberes-beres ia langsung meninggalkan
kak Dian tanpa pamit. Sedang kak Dian tengah asyik di belakang membersihkan
pot-pot bunga yang telah di tumbuhi rumput liar. Ia berjalan dengan cepat,
berharap kak dian tidak menyadari kepergiannya. Ia pergi dengan hati bingung
dan tak tau apa yang harus ia lakukan.
“Jadi kamu sudah tau?”
“Maksud kamu?” Maudy bingung dengan pertanyaan yang
diajukan Adipati setelah ia menceritakan isi diari itu.
“Aku juga pernah tidak sengaja membaca diari itu sewaktu
berkunjung ke rumahmu, dan mungkin itu jawaban mengapa aku sempat menghindar
dari kamu. Aku tidak mau menyakiti perasaan Dian,” Adipati menunduk lemas.
Maudy semakin bingung dengan semua ini dan berharap Adipati
dapat memberikan solusi yang terbaik.
“Kamu tau? Setelah berbulan-bulan itu aku menjauhi kamu, Dian
meneleponku dan bertanya kenapa aku menjauhi kamu. Dan Dian menceritakan kamu
tengah dirundung harap aku akan kembali.” Pilihan ketika itu bagai memakan buah
simalakama bagi Adipati. Satu sisi ia mencintai Maudy dan di sisi lain ia tidak
mau menyakiti hati Dian.
Siang itu Maudy tidak berlama-lama mengingat dia pergi
diam-diam dan ketika balik ia bersyukur kak Dian masih sibuk dengan bunga-bunga
mereka. Dia bersikap sewajarnya seolah tidak terjadi apa-apa namun tidak ketika
jam tengah makan siang berlangsung.
“Kamu baca diari kakak ya Maudy?”
“Nnng.” Maudy ragu-ragu menjawab, “ Iya kak. Aku
benar-benar gak sengaja, maaf kak,” Maudy menunduk merasa bersalah.
“Maaf? Sebenarnya kakak yang harus minta maaf, kakak tau
apa yang kamu rasakan. Marah, benci, kesal setelah tau pacar kamu ditaksir oleh
kakak kamu sendiri. Tapi percayalah. Itu dulu.”Dian menangis dan menunduk.
“Aku percaya kok kak,” Maudy berdiri dan memeluk kak Dian.
Dan di saat bersamaan datang Adipati. Dia menceritakan bahwa tidak sengaja
pernah membaca diari Dian, saat bercerita ia benar-benar merasa bersalah karena
tanpa izin. Dan benar kata kak Dian, perasaan itu hanya berlaku dulu. Ternyata diam-diam
kak Dian memiliki teman spesial bernama Reza.
Sore ini mereka berempat akan berkumpul untuk sekedar bercerita dan menghirup
udara segar hamparan teh yang luas.
Jalanan memang
panjang, tapi jika kita hanya berdiri dan keliling-keliling di situ saja tidak
akan terasa jalanan itu panjang dan indah. Dan keindahan itu akan terasa kalau
kita telah melewati lika-likunya. Begitu pula dengan hati dan cinta.