Belum lama aku menegnalmu, tapi seakan sudah menjadi saudara saja. Kau menyamakan aku dengan yang lainnya,
dengan kawan-kawanmu yang tingkat pendidikannya setara denganmu tapi tidak
denganku. Memang ada perbedaan, tapi pemikiranmu yang unik membuatku ingin
belajar lagi menjadi lebih baik. Aku memang bukan siapa-siapa, bukan orang kaya
bukan pula orang berpendidikan. Tapi banyak hal yang ingin kupelajari, aku
ingin belajar darimu. Husna, kuharap inginku ini tersambut. Belajar di usia 18
tahun mungkin sedikit berat, tapi tentu memiliki seorang kawan sepertimu akan
membuatku semakin bersemangat dan bersungguh-sungguh.
Pagi itu kususul
dirimu di jalan Mawar. Tempat biasanya kita berselisih jarak. Tapi tak sempat
mengejar langkahku, kuurung niat. Mungkin saat ini belum tepat. Siapa aku? Dengan pakaian seperti ini aku
berani menghadap? pikirku saat itu. Hari berikutnya juga sama yang
kulakukan, sama saja. Bathinku masih menolak. Sudah beberapa kali aku
memberanikan diri menyusulmu tapi keberanian itu tiba-tiba kecut. Oh jika tidak
juga kapan aku bisa berubah. Kali ke delapan akhirnya aku bisa berani datang
dihadapanmu. Dengan bermodalkan nekat saja aku. Mungkin kali itu juga kau
heran, tampak jelas waktu itu.
Memang dengan pakaian yang terbilang kumal,
dan tentengan yang setia menemaniku-karung goni dan tongkat pengambil sisa-sisa
barang bekas— botol-botol minuman, plastik, dan
apapun yang masih layak diambil aku ambil. Dengan suara
dilantang-lantangkan, aku berkata,
”Mbak, saya pemulung, ingin belajar tapi segan. Bolehkah saya juga
ikut dalam program yang mbak adakan? Umur saya 18 tahun, memang tidak termasuk
kriteria seorang murid yang mbak inginkan. Saya sekalipun tak pernah mengecap
manisnya pendidikan seperti mbak. Sedikit saja tak apalah, asalkan saya tidak
menyesal. Dengan usia yang terbilang tidak anak-anak lagi, apakah sudah
terlambat?” tanyaku polos ketika itu.
Muncul keheningan beberapa menit, salah
seorang kawanmu berbisik dan kuamati alismu seolah sedang berpikir. Dengan
sedikit berdehem kau katakan dengan lembut, “Mas, maaf. Untuk saat ini kami
belum membuat program untuk anak remaja seusia mas. Mungkin nanti akan kami
pertimbangkan,” terangmu.
Hari berganti hari, lama aku menunggu tapi
tak jua ada kabar program itu. Aku kembali memberanikan diri menemuimu, kali
ini ketika kau sendiri. Seperti biasa kau selalu terkejut dengan kedatanganku,
entah karena penampilanku atau karena kedatanganku secara tiba-tiba. Tapi aku tak peduli. Aku ingin belajar darimu.
“Mbak, sudahkah ada kepastian? Kalaupun
tidak, izinkan saya bergabung dengan anak usia lima hingga delapan tahun itu. Tak
apa, yang penting saya bisa belajar,” kau lagi-lagi diam dan mungkin heran
dengan kegigihanku. Lalu kau berjanji untuk mengabariku esok hari. Akupun
berharap banyak padamu. Tiba-tiba kau ambil ponsel dan minta waktu sebentar,
dari kejauhan meski samar-samar, aku dengar kau berbicara—tentang sebuah program pendidikan. Kau gadis yang tidak
biasa, dengan usia yang sama denganku pemikiranmu sudah cukup dewasa dan peduli
dengan lingkungan sekitarmu.
Masih di halte, kau
menanyakan perihal kesungguhanku untuk belajar.
“Kenapa ingin sekali
sekolah?”
“Saya ingin merubah
nasib mbak,” jawabku pasti. Kata-kata ini selalu melekat di otakku. Aku ingin
belajar untuk merubah nasib. Beberapa menit kemudian datang sebuah mobil kijang
berwarna hitam. Aku tak tau apa kau mengenal plat mobil ini atau tidak. Tapi
dari pandangan matamu tak luput dari kedatangan mobil ini. Aku bingung. Sebenarnya
aku ingin bertanya hal yang lain lagi — perihal kuliahmu, meski aku tidak tau
apa yang dipelajari orang-orang ketika kuliah. Dulu aku pernah berpikir, apakah
sekolah selama dua belas tahun belum cukup untuk menjadi pintar? Itu adalah
waktu yang cukup panjang kalau di hitung-hitung.
Belum sempat meluncur
kata-kataku. Mobil hitam tadi tepat berhenti di depan kami, lalu beberapa orang
turun. Sepertinya aku sangat mengenal mereka. Dengan santun kau sambut
kehadiran mereka. Mulailah kau memperkenalkan aku kepada orang yang amat di
kenal di pelosok Indonesia ini, personil band Wali, meski yang hadir tidak
keseluruhannya. Aku mengenalnya meskipun kau tak memperkenalkan. Senyum
mengambang dari wajah mas Faank dan mas Tomi.
“Ini ya yang sering menemuimu
untuk ikut belajar?” tanyanya akrab
Kau menerangkan dengan
cukup jelas, bahkan tanpa sepengetahuanku kau sempat melihat aksiku belajar
bersama anak-anak didikmu seusai sekolah. Belajar dengan anak yang lebih kecil
dan tentunya lebih pintar dari aku. Terimakasih Husna, bathinku.
Memang tak ada yang spesial
dari diriku. Aku saja bila diminta mendeskripsikan diriku sendiri mungkin tidak
bisa, aku hanya pemulung dan orang tak berpunya. Tapi aku seakan menemukan
titik pencerahan. Berkat penjelasanmu aku disambut hangat oleh personil band
wali. Setelah berbicara beberapa kali akhirnya sebuah kalimat yang ku mimpikan
meluncur dari ucapan mas
Faank.
“Kalau ingin belajar
jangan setengah-setengah, esok saya tunggu di pesantren. Di sana kamu akan
belajar dan mendalami ilmu agama. Semoga kesempatan ini akan menjadi langkah
awal bagimu,” terang mas
Faank.
Esoknya seperti yang
sudah dikatakan, aku datang ke pesantren yang bernama pesantren taqwa, teringat
aku akan nama sejuta rumah panggung, singkatan dari kata setia,jujur dan taqwa.
Aku tau dari Adrian, anak yang sering kupintas ketika dia pulang dari rumah
panggung untuk menanyakan perihal pelajaran yang ia dapatkan.
Pesantren ini begitu
bagus dan terawat, dalam keadaan ragu aku melangkah ke dalam dan langkahku di
hentikan oleh salah seorang satpam. Dengan tampang heran, dia bertanya, “mau
cari siapa mas?”
Aku mengambil kartu
nama yang di berikan mas
Faank dari saku kemeja putihku. Kali ini tidak ada
yang mengira bahwa aku adalah seorang pemulung, meski tidak terlalu wah
setidaknya aku tampak lebih baik dari sebelumnya. Kata orang-orang tampangku
lumayan, dan terlihat guratan ketegasan. Tak lama datang mas Apoy, dia adalah idolaku, gitaris dari band wali ini menyambutku dengan
hangat. Dan aku langsung di daftarkan dalam pesantren ini. Seperti anak yang
baru masuk sekolah diantar orangtuanya.
Proses belajarpun
dimulai esok harinya. Aku menikmati sekali sekolah di pesantren ini. Banyak
ilmu yang aku dapatkan, ilmu hadis, fiqih dan banyak lagi termasuk pula dua
bahasa asing bahasa inggris dan Arab. Aku sedikit mengalami kendala karena
memulai semuanya dari awal, untunglah kemampuan membacaku cukup baik berkat
diajarkan oleh temanku yang mengecap bangku sekolahan dulu. Jadwal kami dalam
seminggu sangat padat, meskipun begitu sekali sebulan kami kedatangan tamu yang
merupakan pemilik pesantren ini, seluruh personil wali (mas Faank, mas Apoy, mas Ovie dan mas Tomi). Mereka
hadir untuk mengisi sebuah kegiatan yang dinamakan “Tausyiah Bulanan”.
Aku sangat bahagia
bisa diberi kesempatan seperti ini. Meski sedikit berat, aku tidak
menyia-nyiakan waktuku untuk berleha-leha. Kesempatan yang di berikan personil
wali band dan husna tidak aku sia-siakan. Hal yang membuatku semakin
bersemangat adalah kedatangan Husna dan kawan-kawannya juga dalam tausyiah itu.
Hatiku mulai berdebar. Oh, rasanya aku belum layak memiliki hati seorang Husna
yang berpendidikan dan berparas cantik ini.
Bertahun lamanya aku
memendam rasa, hingga akupun terpilih untuk melanjutkan pendidikan agama yang
lebih tinggi. Aku masih tetap setia. Aku berjanji akan menyelesaikan pendidikan
dulu, lalu mengabdi sebagai guru di pesantren ini dan berharap di usia yang
sudah menginjak 28 tahun ini sudah membuatku matang dalam berpikir untuk
berumah tangga. Tapi siapakah yang akan menjadi pendampingku?
Meski sudah lama tidak
bertemu dengan Husna aku selalu menanyakan perihal kabar tentang dia. Pernah
aku beberapa kali berbincang bersama mas Faank yang sudah ku anggap
saudaraku sendiri. Dalam perbincangan itu mas Faank mendukung keinginanku
untuk berkeluarga.
“Usiamu sudah cukup
matang dan kehidupanmu juga. Jika sudah siap rasanya tidak ada salahnya
mengikuti sunah nabi, menikah,” terangnya.
Hampir setiap malam
aku memikirkan ini, dan suatu siang aku bertemu dengan seorang perempuan yang
tampak begitu anggun, masih berbicara santun seperti dulu. Aku menyapa ragu,
apakah Husna masih mengingatku meski sudah lima tahun tak bertemu? Tapi
pelan-pelan ku mendekatinya. Dan aku bahagia ternyata dia masih mengingat nama
dan menanyakan perihal tentangku. Akupun balik bertanya. Husna sekarang
ternyata telah lulus kuliah dan mengajar sebagai guru agama di salah satu
sekolah menengah atas dan belum menikah. Apakah ini saat yang tepat untuk
mengungkapkan perasaanku? Dengan hati-hati aku berbicara padanya, “Husna,
sebenarnya dari dulu aku sudah memikirkan ini. Aku berharap kamu akan berpendapat
baik. Usiaku telah 28 tahun, dan aku ingin sekali mencari seorang pendamping.
Apakah kau mau menjadi pendamping dunia dan akhiratku Husna?” lama kau
berpikir, aku hanya diam menunggumu. Lalu kau berkata, jika engkau jodohku maka
satu kata yang kupinta, “sejuta “setia
jujur dan taqwa, setialah untukku jujurlah padaku
dan taqwalah dirimu pada Tuhan selalu*
*lirik lagu wali band