Sore itu hujan turun seakan menemani kesendirianku. Duduk menyendiri
di kamar kos yang sepi. Hari ini tidak seperti biasanya, teman-teman kos yang
lain pada pergi shooping dan kali ini aku memlilih untuk sendiri. Aku sedang ingin
menyendiri dan keputusan aku adalah baik karena kalau aku memaksakan diri untuk
ikut, pasti kehujanan. Aku jadi nyengir sendiri karena membayangkan teman-teman
yang lagi di luar. Bukan berarti aku senang melihat penderitaan orang lain.
Kembali aku terhanyut dalam kertas yang pernah aku tulis 3 tahun silam. Berisi:
Dear God, aku bersyukur sekali karena
sudah diberi kesempatan untuk menjadi salah seorang mahasiswa di DIII gizi. Aku
ingin mengabdikan ilmu ini untuk seluruh masyarakat Indonesia. Ingin memberantas
segala yang berhubungan dengan masalah
gizi dan menuntut ilmu dengan sungguh-sungguh.
Berpikir aku
sejenak, “sungguh mimpi yang mulia,” aku bergumam. Tapi sebelum aku membayangkan semua itu aku teringat dengan
salah seorang dosenku yang beberapa tahun lalu telah menamatkan studinya di Negri
Kangguru Australia. Ia adalah panutanku dan menginspirasi diriku, beliau
bernama Bapak Gusnedi.
Awal aku menjadi
salah seorang masiswi di Jurusan Gizi, seperti peneriman mahasiswa pada umumnya
dibentuklah sebuah kegiatan perkenalan selama tiga hari. Aku merasa sedikit
deg-degan seperti rata-rata yang dirasakan oleh setiap orang. Datang ke lokasi baru dan
teman-teman yang asing serta peraturan yang berbeda dengan masa-masa sekolahan.
“Hai, namanya
siapa?” seseorang menyapaku.
Aku melirik ke arah dia, “hai, aku Tri. Kamu?” balasku canggung. Dia
bersikap ramah sekali dan selalu menebar senyuman. Sepertinya orangnya asyik, bisikku dalam hati.
“Aku Ridha dari SMA
1 Lubuk Sikaping” ujarnya
“Oh, aku dari SMA 1
Pariaman. O ya, kamu sendiri aja lulus di jurusan ini? Maksudku apa ada teman
yang satu sekolahan?” aku bertanya
“Kalau gak salah
ada dua orang lagi dari SMA yang sama cuman aku gak terlalu mengenal mereka,” terangnya,
“kalau kamu gimana?” dia balik bertanya.
“Ada, satu orang
cuman aku gak liat dia dari tadi.”
Tengah asyik
mengobrol ada pengumuman.
“Eh, kita di suruh
ngumpul lagi tuh, bareng yuk,” dia mengajakku.
Kami melangkah
menuju audit tempat diselenggarakannya pemberian materi oleh para dosen. Setiap
dosen menceritakan tentang pengalamannya
semasa menuntut ilmu, kuliah dan mengajar. Hampir biodata singkat
itu aku catat di notebook yang di bagi-bagikankan oleh kakak senior kemaren di hari pertama masa perkenalan. Aku
tertarik dengan salah seorang dosen yang bernama Gusnedi, beliau sewaktu kuliah
selalu mendapatkan beasiswa bahkan sampai keluar negeri. Mendengar kata-kata
beliau yang santun membuat aku termotivasi untuk menekuni jejak beliau dan
ingin berprestasi juga seperti beliau. Selama mengikuti perkuliahan aku mencoba
untuk fokus, IP yang aku perolehpun cukup bagus, namun aku tidak mendapat
kesempatan untuk meraih beasiswa. Keterbatasan jumlah beasiswa menjadi alasan.
Tapi aku tidak mengurungkan niat. Aku bersyukur bisa diberi kesempatan untuk
kuliah di jurusan ini. Aku bisa meraih banyak ilmu di sini serta banyak sahabat
yang luar biasa di sini. Dan Ridha salah satunya.
“Da, nanti temani
aku ke pasar buat beli buah ya,” ajakku
“Ok,”dia
bersemangat, “o ya, katanya sekarang lagi diskon buku loh, ntar kita mampir ke
toko buku yuk,” ajaknya
“Ok boleh juga” aku
turut bersemangat
Sepulang sekolah
aku dan Ridha menjalankan rencana tadi dan beberapa teman juga tertarik untuk
ikut diantaranya adalah Ami, Ibeth dan Sofya. Kamipun menikmati perjalanan singkat
kami. Apalagi ketika berkunjung ke perpustakaan.
“Wah, bagus banget
nih bukunya, Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Kita beli yuk!” ujar Sofya semangat.
“Mana coba liat,” Ibeth
melihat daftar isi dari buku tersebut yang sengaja di buka, “iya nih, bagus banget.
Tapi duit udah gak cukup nih.” Keluhnya.
“Oke, biar aku yang
beli,” ucap Sofya yang sejatinya suka membeli buku.
“Oke, shooping kita
udah kelar, yuk kita pulang, “Ami yang sudah terlalu lelah dengan perjalanan
hari ini sepertinya sudah ingin buru-buru sampai ke kosan.
Kami yang juga
merasakan hal yang sama menyetujui usul Ami. Sebenarnya masih ada satu rencana
lagi yaitu mampir ke Pasar Raya untuk membeli perlengkapan pribadi namun itu di
tunda dulu.
Sesampai di kos aku
melihat keperluan untuk kuliah besok, ternyata ada satu tugas yang belum aku
selesaikan yaitu membuat leaflet untuk praktek konsultasi gizi.
Akupun terpaksa begadang karena tidak bisa dengan cepat menyelesaikan tugas
itu.
Masa-masa tingkat
tiga membuat aku dan teman-teman semakin sibuk. Biasanya kami sering jalan keluar
sekarang tidak lagi. Semua merasa terbatasi. Jadwal yang semakin padat membuat
kami sesak. Semua harus fokus dan berpandai-pandai membagi waktu.
Waktu untuk
menyelesaikan tanggung jawab terhadap mata kuliah yang di bebankan serta
tanggung jawab terhadap PKL (praktek kerja lapangan) yang akan diselenggarakan
beberapa hari lagi hingga beberapa bulan mendatang.
Semua judul telah
ditempel di dinding, kami sudah mulai sibuk dengan karya tulis ilmiah masih-masing namun meski begitu
kami masih menyempatkan diri untuk makan bareng di kantin dan ke perpustakaan
dan itulah yang membuat kami semakin dekat.
“Tri, nanti kita ke
perpus yuk. Bahan aku masih kurang nih,” ucap Ibeth
“Oke, aku juga mau
nyari buku. Tapi sehabis jam kuliah ini kita makan dulu ya ke kantin. Laper
soalnya belum sempat makan,”
Ridha yang duduk di
depan mendengar ucapanku barusan, ia membalik badan ke belakang, “ha? Serius
belum makan? Ya ampun ntar sakit,” dia menceramahi
“Iya, niatnya sih
pengen makan, tapi telat bangun. Jadinya buru-buru deh,” ulasku. Ridha jadi
maklum. Perhatian para sahabat membuatku semakin semangat menjalani hari-hari
meski beban pikiran bisa dibilang sedikit bertambah.
Suatu kali kami
mahasiswa gizi yang berjumlah enam orang tinggal se-kos terlambat bangun, entah
kenapa kami begitu kompak kali ini. Sehingga mesti berlari terbirit-birit
menuju lantai dua. Cukup ngos-ngosan ketika masuk ke ruang kelas yang ternyata
dosennya sudah duduk dan memberikan materi pelajaran. Kami di interogasi
sebentar sehabis itu kami di beri hukuman joged bareng di depan kelas.
“Yang lain aja ya
pak,” salah seorang temanku mencoba protes
“Gak, pokoknya
kalian harus joged,” ucap pak Gusnedi tegas.
Gak nyangka juga
karena aku bisa terlambat dengan dosen yang menjadi motivator bagiku. Kamipun
melakukan joged bersama meskipun terdengar gelak tawa yang heboh di belakang.
Mereka begitu antusias bahkan ada yang merekam aksi kami dengan ponselnya. Tapi
kami tetap cuek dan berjanji dalam hati gak akan melakukan ini lagi.
Semua perjalanan
tiga tahun adalah perjalanan hidup yang mendidik, alam takambang jadi guru (alam dijadikan sebagai guru/ pengajaran). Suka dukaku semuanya dapat teratasi
karena sahabat selalu ada di kala aku membutuhkan. Dan sekarang proses tiga bulan yang lalu telah terlewati.
Ambisi untuk membahagiakan orangtua untuk meraih prestasi dalam belajar
akhirnya terpenuhi, yaitu menamatkan kuliah.
Sekarang aku mengisi waktu untuk menulis
freelance. Mimpi untuk melanjutkan studi di negara kangguru kini semakin
menggebu-gebu. Tapi aku belum tau kapan itu akan terwujud, semua itu tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Butuh persiapan yang matang, izin dari
orangtua, meningkatkan kualitas pribadi semua itu butuh proses. Tidak adanya
sanak keluarga adalah salah satu alasan terberat orangtuaku untuk melepaskanku
ke negeri
orang. Suatu ketika aku sedang duduk di teras rumah. Beliau bertanya,
“rencananya mau lanjut kuliah dimana?”
Aku menjelaskan
dengan hati-hati, pilihan untuk melanjutkan kuliah di Sumatra Barat yang
pilihan satu-satunya hanya ada swasta membuatku urung,” aku ingin melanjutkan
S1 Gizi di IPB, Pa” ucapku ragu, karena kemungkinan tidak akan dibolehkan.
“Kalau di Bogor tidak
apa-apa,” beliau berucap meyakinkan, “Saudara papa baru saja pindah ke Bogor tiga
bulan lalu. Jadi papa tidak terlalu khawatir melepasmu. Yang terpenting jaga
sikap dimanapun kamu berada”nasehat beliau
Mendengar
penjelasan beliau yang barusan membuatku kembali bangkit. Meski mimpiku untuk
melanjutkan studi ke Australia belum bisa aku gapai saat ini namun ada
kesempatan kedua untuk melanjutkan studi di Kota Hujan, Bogor. Aku menjadi
semangat untuk mempersiapkan diri mengikuti tes yang nanti akan diselenggarakan
pertengahan tahun. Semoga impianku untuk melanjutkan studi di S1 gizi di Institut
Pertanian Bogor akan tercapai . Tulisan yang pernah tertulis itu akan bisa
segera terabadikan,
mudah-mudahan. Kembali aku terhanyut dalam kertas yang pernah aku tulis 3 tahun
silam yang berisi: Dear God, aku
bersyukur sekali karena sudah diberi kesempatan untuk menjadi salah seorang
mahasiswa DIII gizi. Aku ingin mengabdikan ilmu ini untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Ingin memberantas segala yang berhubungan dengan masalah gizi dan menuntut ilmu
dengan sungguh-sungguh.
Note:
Baru nemuin tulisan ini di laptop. Alhamdulillah saat ini aku telah menyelesaikan studi S1 Gizi Institut Pertanian :)