Malam yang
dingin dan kaku, dengan kamar bercahaya putih sengaja diganti dengan lampu
tidur yang membiaskan cahaya kuning. Semburat lampu teras rumah diam-diam masuk
ke jari-jari ventilasi. Aku mengamati lekat-lekat. Namun memilih membisu di
dalam kamar sendirian, meringkuk. Bersikap menjadi gadis manis yang tidak
seorangpun tau kecuali ibu, betapa sakitnya bertahan dalam raga yang setiap
waktu selalu mendapatkan tatapan miring dari orang sekitar. Oh tidak, sampai kapan aku akan bertahan?
Itu kalimat yang selalu aku bisikkan dalam hati.
Hari-hariku memberikan
aroma-aroma kematian yang tertancap dalam di bathin ini. Kapan detik waktu tak
berputar lagi untukku? Kapan suara-suara sumbang di luar sana tak lagi diperdengarkan?
Dan kapan saatnya aku tak melihat tatapan sinis mata sang penghakim ulung. Mereka
yang seenaknya menghakimi padahal bukan hakim, mereka yang seenaknya meludahi
padahal bukan majikan, mereka yang seenaknya mencaci maki padahal bukan Tuhan. Begitu
miris, menyayat dan bagai luka yang ternganga disiram butiran garam.
Perlahan aku
bangkit dan membuka tirai-tirai jendela. Berdiri sebagai penonton yang tidak
dikehendaki kehadirannya. Menyaksikan betapa orang-orang di luar sana merasakan
kebebasan tanpa batas—bebas merasakan kebahagiaan
dan tersenyum. Bersama orang-orang yang senantiasa mengajari mereka arti hidup
yang sesungguhnya. Kenapa aku bukan terlahir untuk menjadi mereka?
Diam-diam aku
memperhatikan mata yang penuh kebahagiaan, senyuman yang mengambang di bibir
mereka. Aku berpikir keras, bahkan sudah tak terhitung hari kapan terakhir aku
bisa tersenyum seperti itu. Aku ingin belajar lagi untuk tersenyum. Kapankah?
Pintu kamar
perlahan terbuka, aku segera mengelap air mata yang terlanjur jatuh tanpa
kusadari. Kehadiran ibu selalu memberikan aroma baru bagiku. Kesabaran dan
kasih putihnya tak pernah pupus meski aku seperti ini. Ia melangkah anggun, dan
aku memutar badan ke arah ibu. Dengan lembut ia berkata, “Nak, sudah diminum
obatnya?”
Seperti anak
kecil yang takut meminum obat, aku menjawab jujur pada ibu,” Belum Bu,” aku
menunduk.
“Kenapa?
Bukankah ingin sembuh?” ibu mengusap kepalaku halus.
Bathinku
berucap, ibu aku ingin cepat-cepat
mengakhiri bebanmu.
Namun seolah
mendengar ucapanku, ibu berkata, “Nak,
sampai kapapun jangan pernah merasa merepotkan ibu. Dalam sujud ibu selalu
berdo’a berharap kesembuhanmu itu akan ada,” jelas ibu sambil meneteskan air
mata.
Meski ibu begitu
yakin, namun aku entah kenapa tidak
merasakan hadirnya harapan itu. Obat ini hanya untuk memperlambat, bukan
membasmi. Aku sudah bosan dengan hari-hariku seperti ini. Bahkan untuk keluar
rumahpun aku malu, takut dan selalu diremehkan.
“Ibu, aku rindu
dengan senyuman orang-orang yang tulus memberikannya padaku. Mereka di luar
sana selalu melayangkan cacian. Aku ingin pergi saja, jauhkan obat-obat ini
dariku ibu. Mungkin lebih baik aku mati dan dengan begitu aku takkan lagi
membebani ibu,” aku menangis dilutut ibu berharap ibu mau mengabulkan
keinginanku—menghentikan pengobatan.
Tanpa
kusangka ibu pergi meninggalkanku. Ia melangkah cepat dan aku mendengar ia
tersedu. Dalam beberapa menit terduduk dalam tangisan, aku memutuskan melangkah
ke kamar ibu. Kulihat dan perhatikan lebih dekat, ternyata ibu tidak berhenti
menangis sedari tadi. Ia membuka lembaran album lama dan merangkulnya erat.
Seolah merindukan masa yang pernah hadir, masa yang penuh dengan semburat
senyuman.
Perlahan
aku melangkah mendekat ke arah ibu, “Ibu, maafkan aku,” aku berkata pelan.
Ia
mengangkat wajah dan memperlihatkan foto di album itu,” Nak, foto ini adalah
foto kita, ayah, ibu dan kamu. Setiap manusia pasti nantinya akan meninggal.
Tapi satu hal yang perlu kau ingat, janganlah pernah mendahului takdir. Itu
pesan ayah sebelum ia pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Selagi ibu masih
mampu membelikanmu obat, selama kamu masih berada di pelukan ibu, selama itu
pula ibu akan memberikan senyuman tulus padamu,” Ibu merangkulku dengan erat. Lagi-lagi
aku menangis dipelukan ibu, menyesal karena telah menyakiti perasaannya.
Sudah begitu
sering airmata ini terjatuh, entah berapa kali pagi mataku selalu menatap
sembab mentari yang mencoba bertegur sapa. Entah berapa kali bulan juga aku
mengurung diri di rumah kecil ini. Kecerobohan yang telah kulakukan ketika
menjadi warga asing di kota sendiri. Membutakan hatiku, betapa hidup ini nikmat
hanya dengan satu tusukan jarum suntik. Dan hanya dalam beberapa bulan setelah
itu aku di diagnosa menderita HIV Aids.
Sungguh kebodohan yang tak pernah termaafkan. Namun aku aku selalu mengingat
ucapan ibu, Setiap
manusia pasti nantinya akan meninggal. Tapi satu hal yang perlu kau ingat,
janganlah pernah mendahului takdir. Selagi ibu masih mampu membelikanmu obat,
selama kamu masih berada di pelukan ibu, selama itu pula ibu akan memberikan
senyuman tulus padamu. Mulai detik ini,
aku akan menjalani sisa hidupku dengan sebaik-baiknya. Bersama ibu yang
senantiasa mencintaiku dan setiap waktu memberikan senyuman tulus.