Tumpukan surat yang
sudah lama tertulis sudah mulai usang berteman dengan kotak kayu yang setia
menjadi tempat persembunyian. Perlahan ia meraba dengan halus kotak itu dan
membaca ulang kata demi kata yang tercipta di dalamnya. Tak terasa air mata
mengalir begitu saja.
Dua tahun silam
semangatnya menggebu-gebu untuk segera menyelesaikan tulisan itu dengan dua
lembar foto yang di tempel disana, tidak sabar untuk memberikannya tepat di
hari jadi sang pencuri hati yang ke tujuh belastahun. Tapi itu takkan pernah
terjadi…lagi.
“Hai,
ngelamun aja. Mikirin apa sih?” suara ayu membuyarkan semua yang terpikirkan
oleh Maudy yang tengah menyudut di dekat jendela kamar kos.
“Eh,
gak kok” jawab Maudy cepat,” gimana dengan latihan basketnyanya?” Maudy mencoba
mengalihkan
“Hmm,
baik. O ya, aku di ajak Andi keluar nanti malam. Kamu ikut ya”
“Gak
ah. Lagi-lagi aku jadi pengusir nyamuk,” Tolak Maudy
“Ah
jangan gitu, pokoknya kamu harus ikut”
“Gak
bisa Ayu sayang, aku harus nyelesaiin ukiran aku ini. Biar besok bisa diantar
ke pemesan”. Tolak maudy lagi, dan beruntung kali ini ia berhasil menolak.
Biasanya rayuan maut Ayu sulit banget dihindari.
Maudy
sekarang tercatat sebagai mahasiswi UNAND Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selain
kuliah, ia juga berprofesi sebagai pemahat patung dari kayu. Memang sedikit
aneh, biasanya untuk bidang seni yang
satu ini peminatnya adalah kaum lelaki. Tapi bagi Maudy, mengukir adalah
relaksasi diri. Tiap kali hasil ukirannya selesai, rasanya telah menciptakan
komedi baru sehingga sering ia tertawa sendiri tiap kali melihat kembali hasil
ukirannya yang di foto. Ya, memang setelah selesai, ukiran itu langsung
diberikan ke pemesan. Jadi maudy hanya menyimpan kenangan itu dalam bingkai
foto. Maudy bekerja pada pamannya, ia pun dulu sering bermain ke studio patung
Pak Imran, lelaki yang akrab disapa maudy dengan sebutan Uncu.
Malam ini setelah menyelesaikan
pahatannya, Maudy kembali menulis surat, tiap malam minggu ia memang selalu
menulis surat. Di awal surat ia selalu
menulis ‘Surat Untuk Bali’. Seperti biasa, usai menulis selalu diselipkan
satu foto pahatan kayu yang telah ia buat lalu surat itu dimasukkan ke dalam
kotak yang ia sebut kotak diari. Memang aneh, larangan yang tertulis di surat
terakhir Roni begitu mengena di hatinya. Tapi itu tak membuatnya surut untuk
tetap menulis surat.
Roni adalah salah seorang sahabat
semasa SMA, Maudy. Kedekatan mereka berawal dari hobi yang sama yaitu
memahat kayu. Ronipun sering bermain ke studio patung uncu untuk belajar
bersama Maudy. Tapi kebersamaan mereka tiba-tiba menjadi kosong karena Roni harus
ikut dengan keluarganya untuk pindah ke Bali. Itu salah satu pukulan hebat bagi
Maudy. Di mana roni adalah sejatinya bukan hanya sahabat ketika memahat melainkan
juga sahabat ketika Maudy merasakan bahagia, sepi, dan gundah.
“Aku akan berangkat ke Bali besok pagi,”
ucap Roni ketika pertemuan mereka di sore tempat studio Uncu, “ tapi kamu jangan
sedih, kita masih bisa berkirim surat tiap malam minggu bersama selembar foto hasil
pahatan kita,” tambah Roni
“Kamu pindah rumah?” tanya Maudy gak
percaya. Hanya anggukan yang keluar dari Roni. Ketika itu tampak jelas semburat
kesedihan di wajah Maudy, tapi Maudy yang dijuluki cewek tomboy ini berusaha
menahan air mata yang ingin berlari keluar. Senyum keterpaksaan ia perlihatkan.
Tapi takkan mungkin ia bisa menahan kepergian Roni yang akan berjalan besok.
“Aku gak suka kamu bilangnya
mendadak seperti ini!” ucap Maudy tiba-tiba “Ya,
tapi.., aku minta maaf. Semua rencana ayahku. Akupun juga kaget saat pertama
mendengar berita kepindahan kami .”
terang Roni yang seketika menghentikan kegiatannya memahat. Kata-kata dan
pertemuan terakhir yang masih teringat jelas di memori Maudy.
Kegiatan
berkirim surat yang mereka janjikan memang berjalan, namun tidak untuk tiga
bulan berikutnya. Surat yang berisi “Maaf
Maudy, aku takkan bermimpi lagi untuk menjadi pemahat kayu seperti dulu. Aku harap
kamu jangan lagi mengirimiku surat dan lembaran foto pahatanmu, karena itu semua tidak lagi berguna bagiku.
Tetaplah berkarya selagi kamu masih memiliki tangan yag sempurna” adalah surat pendek terakhir dari Roni. Kebingungan yang
menjelma di benak Maudy selama bertahun-tahun akhirnya terjawab, Roni
kehilangan kedua tangannya dalam sebuah kecelakaan tragis di Bali. Tapi
kebiasaan menulis surat Roni tak pernah berhenti. Sengaja penerima surat ia
ganti menjadi Bali bukan Roni, dengan harapan Bali akan selalu menjaga Roni
dalam setiap langkah,semangat dan mimpi baru.