sumber foto: siyasah13.blogspot.com |
Sudah setahun lebih aku tidak
pulang ke kampung halaman, untuk bertemu rindu. Ingin sekali aku menginjakkan
kaki kembali di Ranah Minang. Mudah-mudahan liburan semester ketiga ini aku
memiliki kesempatan itu. Sungguh aku merindukan amak*, abak** dan
kakak-kakakku. Meski tetap menjalani komunikasi dengan mereka, namun itu hanya
sebatas mendengarkan suara. Di sini aku berjuang, di kampung rasa rindu
tertanam.
Teringat
aku akan masa-masa sekolah dulu, semasa SMA. Ketika
tengah asyik mengerjakan PR fisika yang ditemani lampu penerang seadanya, amak
datang ke kamarku. Siluet amak yang baru masuk kamar memberitahukan
kedatangnnya. Aku melihat amak tersenyum, senyum yang begitu menenangkan. Ia
perlahan mengelus kepalaku lembut. Kemudian memperhatikan angka-angka yang
tertulis rapi di buku yang tengah berada di depanku.
Ia
membuka pembicaraan, “Nak, amak lihat kamu memiliki semangat belajar yang
tinggi. Amak bangga dengan kamu Nak. Maafkan amak ya nak, amak ndak bisa memberikan
fasilitas yang cukup untuk belajar kamu.”
Aku
senang mendengar ucapan amak, namun di sisi lain aku terhenyuk. Aku tidak tau
kenapa amak bicara begitu. Amak memang pernah berkata padaku bahwa hanya
sanggup menyekolahkan aku hingga SMP seperti halnya dengan saudaraku yang lain.
Program pemerintah wajib belajar sembilan tahun mungkin sudah di usahakan amak
dan abak untuk anak-anaknya. Namun ingin sekali aku melanjutkan pendidikan
hingga SMA bahkan sampai kuliah. Meski sedikit kecewa dengan ucapan amak, namun
mungkin amak mengajarkan aku siap dengan kemungkinan itu.
“Tidak
apa-apa Mak, Amak mendidik dan mendo’akan aku saja sudah sangat cukup,” balasku
pada Amak.
“Tentu
amak selalu mendo’akanmu, kapanpun dan dimanapun kamu berada Nak,” ucap amak lembut.
Aku yakin do’a seorang ibu akan selalu memudahkan langkahku.
Sejak amak mengatakan hanya sanggup
menyekolahkan aku hingga SMP, kecewa
memang ada namun karena sudah membulatkan tekad untuk sekolah hingga minimal
SMA. Aku memutar otak untuk belajar mencari uang. Selama perjalanan pulang yang
seperti biasa aku lakoni berjalan kaki bersama kawan-kawan, aku memutarkan
pandangan kepada kemungkinan pekerjaan yang akan aku dapatkan namun hasilnya
tidak ada. Muncul keputus asaan dalam diriku kini. Di tengah malam aku berdo’a
kepada Tuhan semoga ada langkah baik untuk hari esok, langkah dimana aku bisa
mengumpulkan uang untuk melanjutkan sekolah.
Beban yang kulewati malam ini seakan berkurang karena aku berserah diri kepada
Tuhan.
Ketika shubuh
menjelang, aku bangkit kembali untuk shalat setelah itu seperti biasanya aku
menyempatkan diri untuk membaca buku pelajaran. Amak dan abak yang sudah bangun
lebih dulu membuatku senang karena orangtuaku selalu tepat waktu dalam
beribadah. Beliaulah panutan dalam hidupku. Meski beliau sebagai buruh tani
yang memiliki penghasilan sedikit namun beliau berusaha menghidupi kesembilan
anaknya dan menanamkan nilai-nilai keagamaan di diri kami.
Suara abak
mengaji mendayu-dayu di ruang keluarga. Aku terdiam sejenak dan menghentikan
belajarku sebentar. Aku berdo’a kepada Tuhan agar bisa menjaga kedua orangtuaku
sebagaimana mereka menjagaku semasa kecil. Aku kembali tenggelam dengan buku-buku
pelajaran.
Di sekolah aku
lebih banyak menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Terbatasnya uang
sehingga membuatku tidak mampu membeli buku-buku yang disarankan oleh guru
membuat perpustakaan menjadi sahabat setiaku. Sepulang sekolah tidak
kusangka-sangka, buk Dar memanggilku. Buk dar yang merupakan guruku di sekolah sekaligus
sosok yang disegani di kampungku memberikan tawaran untuk kerja di heler
beliau. Sungguh aku sangat senang sekali mendengar ajakan beliau. Aku langsung
menyanggupi. Tugasku sebagai pengumpul padi yang terjemur hingga di masukkan ke
dalam karung dan diangkat dengan gerobak ke dalam heler memang sedikit berat, namun
demi cita-cita aku ikhlas melakukannnya.
Hingga saatnya
tiba, aku lulus dengan nilai bagus meskipun tidak menjadi lulusan terbaik. Namun
aku tetap bersyukur karena dengan modal ini aku akan bisa diterima di SMA yang
aku idamkan selama ini. Uang masuk dan membeli baju berasal dari uang hasil
kerjaku, simpanan uang jajan dan sedikit pinjaman ke tentangga.
Setelah beberapa
bulan di sekolah baru, kebiasaanku selama SMP untuk belajar malam dan shubuh serta menghabiskan waktu di perpustakaan tidak
pernah redup. Malah semakin meningkat karena aku memiliki mimpi untuk melanjutkan
kuliah setelah ini. Usai belajar, aku melirik jarum jam yang sudah menunjukkan
pukul setengah enam. Aku langsung bersiap untuk berangkat ke sekolah. Mengingat
aku berangkat menggunakan sepeda tentunya harus memperhitungkan waktu untuk sampai ke sekolah.
Jarak tempuh sepanjang 3 kilometer harus aku lewati setiap harinya kecuali
minggu. SMA-ku adalah SMA favorit dan
menjunjung disiplin yang tinggi. Jika terlambat akan mendapatkan bobot sepuluh,
jika sudah tiga kali terlambat maka akan di panggil orangtua. Aku tidak mau
merepotkan orangtuaku dengan hal yang tidak baik ini. Jika bobotku sudah
mencapai dua ratus maka siap-siap akan di keluarkan. Oh tidak, adalah mimpi
buruk jika hal itu sampai terjadi.
Benar memang,
amak hanya sanggup membiayai uang sekolah hingga SMP. Namun aku tidak pernah
berhenti bermimpi. Meskipun uang jajan sekali-kali aku dapatkan dari emak
karena keuangan amak dan abak merosot. Usia amak dan abak yang tidak muda lagi
,membuat produktifitas mereka menurun. Mengharapkan bantuan kakakku tidak enak rasanya
karena kehidupan beberapa dari mereka yang sudah berkeluarga sama halnya dengan
amak dan abak. Biasanya setiap kali akan berangkat sekolah jika abak berdiri menungguku
di depan pintu itu berarti ada uang jajan untukku, jika tidak juga tak apa
karena aku sudah makan nasi cukup banyak untuk persediaan energi hingga siang
nanti. Dan biasanya setiap uang jajan selalu aku simpan untuk dipergunakan
nantinya membeli formulir SNMPTN agar bisa kuliah.
Sekarang aku
sudah menginjakkan kaki di kelas tiga, hal yang aku tunggu-tunggu dengan penuh
harapan untuk melanjutkan kuliah datang. Sebuah program Bidik Misi dari
pemerintah untuk anak-anak yang kurang mampu untuk melanjutkan kuliah secara
gratis membuatku senang. Ada harapan
besar untukku, pikirku. Meski setelah hasilnya pengumuman keluar, dan aku
dinyatakan lolos di jurusan fisika UI aku berada dalam liku yang pahit karena tidak punya biaya keberangkatan
ke Jakarta, aku terancam batal kuliah.
Sementara, kondisi
ekonomi orangtua yang tidak mendukung membuatku kalut. Hingga hari ini, mataku masih lembab oleh air mata. Tiga hari lagi,
tepatnya Jumat aku harus sudah ada di kampus yang ”mengundang”. Dengan apa
tiket pesawat atau ongkos ke sana didapat. Dengan kesedihan dan gundah hati
yang dalam, aku ditemani amak menghadap kepala
sekolah. Di hati dan pikiranku mulai tertanam ragu, apakah mungkin bisa
mengubah nasib dengan kuliah di negeri orang sementara badan diri dalam
kemiskinan yang tak terbantahkan. Bayangan kelam seakan menyungkup mataku dan
ketiga temanku dalam melihat masa depan. Mereka bernasib sama denganku.
”Maaf Pak, saya mundur saja, tidak jadi kuliah,
orangtua betul-betul tidak punya biaya untuk keberangkatan saya. Sudah kami
coba pinjam ke tetangga, tetapi hingga hari ini belum dapat,” ujarku serak lalu
menunduk dan menyeka air mata. Begitu pula yang di jelaskan oleh ketiga
temanku.
Sang kepala
sekolah tak bisa menyembunyikan kemurungan hatinya. Ia pun terlihat sedih, dan
berpikir (tapi lebih banyak berharap)—semoga
ada jalan keluar untuk keempat anak-anaknya ini. Dengan jalur ini, nantinya aku
dan ketiga temanku tidak perlu memikirkan uang kuliah dan pemondokan, karena
ditanggung pemerintah. Namun untuk biaya keberangkatan ke Jakarta, jelas harus
mengusahakan sendiri, karena itu di luar tanggungan pemerintah.
***
Pesawat
senja mulai mendarat di bandara, di kota yang menjanjikan mimpi-mimpi bagi
beberapa penumpangnya. Dengan kerlap-kerlip lampu-lampu bandara bagai bintang
yang siap menyambut kedatangan pertamaku, di bandara Soekarno Hatta, Jakarta.
Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Bagaimana tidak, rencana melanjutkan kuliah nyaris akan pupus
karena orangtua tidak memiliki biaya untuk keberangkatanku. Namun semua sudah
bisa diatasi, berkat uluran tangan pemerintah dan juga atas bantuan orang-orang
minang yang tengah merantau akhirnya aku dan ketiga temanku bisa melanjutkan
mimpi untuk mencicipi dunia perkuliahan. Selain itu berkat media massa kota Padang
yang memberitakan kami sehingga orang-orang terketuk hatinya untuk membantu
kami.
Bermimpilah,
sebagaimana aku ingat dalam sebuah kumpulan cerpen Akmal Nasery Basral, aku
menemukan sebuah nukilan yang menarik dari the alchemist karya paulo celho
bahwa jika anda betul-betul ingin menggapai sesuatu, maka semesta akan bersatu
untuk membantu. Hingga sekarang kemudahan itu mengalir begitu saja. Berkat do’a
seorang ibu, dan persatuan mahasiswa minang yang merantau seperti aku, Alhamdulillah,
aku bisa membiayai kuliah dengan mengajar privat pelajaran fisika untuk anak
SMA yang jaraknya tidak jauh dari kampus.
*Ibu **Ayah