Hampir dua tahun
kenangan yang tersimpan erat dalam
perjalanan masa lalu kucoba lupakan. Tapi mengapa semua seakan kembali dalam
waktu sepersekian detik. Kemunculan wajah lama ini membuatku kikuk. Haruskah
aku kembali menghidupkan perasaan masa lalu? Atau berpura-pura hilang ingatan
hingga ia kembali menghilang?
Di bandara yang
ramai ini seolah hanya ada aku dan dia. Dua mata kami belum beradu memang dan
berharap tidak untuk saat ini. Oh angin bawalah aku kabur. Sesak dadaku bila
berlama-lama. Sekilas saja aku sudah
bisa menangkap, rambut pria ini berubah—
pirang dan lebih panjang dari yang dulu. Meski dengan potongan baru, aku takkan
lupa. Oh, senyuman itu, yah mungkin itu yang menjadi alasan kenapa aku bisa
tergila-gila, dulu. Kaki ini hendak melaju tapi tertahan seketika— sapaan ramah ini ini takkan pernah kulupa.
“Yoza,
hai”
Sebisa
mungkin aku bersikap rileks, “hai!”. Hanya itu yang bisa terucap. Terlepas dari
kenangan masa lalu dia adalah teman masa kecilku.
“Kamu baru pulang dari Belanda? Sendiri?”
Erick, jelas juga tampak kikuk dengan keberadaanku. Aku mengangguk.
Rara
sudah datang menjemput dia. Sepupunya yang selalu hadir dengan wajah ceria dan
bahkan membuatku iri kenapa dia bisa selalu begitu.
“Loh, kok bisa ketemuan kayak gini ya?” tanya
Rara spontan, “Yoza, aku kangen deh sama kamu. Katanya kamu akan nyampe dua
hari lagi, kok jadi cepet ya?” dia bertanya penasaran. Kenapa Rara bisa mengetahui rencanaku? Mungkin mama yang cerita,
pikirku.
“Papa
nyuruh aku pulang lebih cepat supaya bisa datang ke acara kantornya,” terangku.
“Siapa
yang jemput? Kalo gak ada bareng kita aja,” Rara menawarkan.
“Kakak,
masih di jalan katanya.”
“Kamu
pulang sama kita aja. Aku kangen banget sama kamu nih. Kita kan bisa ngobrol di
mobil. Ok?” bujuk Rara.
Awalnya aku
menolak karena ada Erick, salah satu alasan kenapa aku bersikap tidak peduli
lagi sama yang namanya pacaran , namun—aku
tak mau mengungkit masa lalu, semua
telah usai.
Pertemuan
kesekian kalinya yang tidak disengaja. Kepulanganku yang mendadak ternyata
berdampak seperti ini.
“Hidup
memang penuh warna, bisa berubah
sesuai keinginan hati kita. Ada bahagia dan ada pula sedih,” dulu Erick juga pernah berucap hal yang sama, aku tak
mengerti maksudnya.
Dua tahun sudah
aku tidak menginjakkan kaki di tanah air, pilihan untuk meninggalkan kebahagiaan yang pernah hidup, mungkin alasan
yang tepat. Tapi telah dua tahun terlewati
Akankah kebahagiaan yang dulu pernah terjalin akan dapat kembali? Setelah
terucap kata perpisahan. Sepanjang jalan menuju rumah aku tetap membayangkan
masa lalu. Mungkin aku takkan bisa
bernafas bila satu mobil dengan Erick, beruntung kakak datang tepat waktu.
Bukankah pacaran itu hanya sekedar formalitas yang
membuat dirimu menjadi seperti orang-orang normal lainnya. Tapi kenapa harus
memilih aku untuk menetapkan hati?Kenapa bukan yang lain? Taukah kamu betapa
aku menganggap semua itu serius? kalimat terakhir
dariku sebelum perpisahan itu. Aku selalu ingat dan tak tau apa kau juga.
“Dan yakinlah
semua itu salah paham, aku benar tulus mencintaimu. Bukankah kita telah melewati
tiga tahun dengan hari-hari yang menyenangkan? Itu adalah bagian yang sangat spesial dalam hidupku, percayalah.”
Pengakuan Erick di suatu pagi ketika bertamu kerumahku.
Aku hanya bisa
menunduk, mungkinkah ini jawaban atas semua ini. Atas kebisuan yang kini
bersuara. Atas kerinduan yang telah lama pada setiap momen yang pernah terkubur
dan kini mulai merekah. Maafkan aku Erick. Benar aku yang salah, Rara kemarin
juga mengatakan hal serupa.
“Lama aku ingin
menghadirkan hari bahagia ini, acapkali aku menanti kabar kepulanganmu, dan
mungkin sekaranglah saatnya” ucap Erick tulus.
Aku mengikuti
perjalanan ini, sebagai permintaan maaf
karena dulu aku tak pernah mau mendengarkan penjelasannya. Dalam
perjalanan panjang Jakarta-bandung mengitari pantai yang merupakan tempat kali
kita bertemu. Dia menghadirkan kenangan yang dulu pernah ku kubur
dalam. Hidup
memang penuh warna, bisa berubah
sesuai keinginan hati kita. Ada bahagia dan ada pula sedih. Dulu aku terlanjur cepat
mengambil warna gelap yang tak seharusnya aku goreskan pada lembar yang
bernuansa pelangi.
Sekembali dari Amerika Erick
berjanji akan segera melamarku. Hari ini benar-benar
moment yang kurindukan, indahnya kebersamaan sehari pada
janji sepanjang tahun. Aku akan setia
menunggu, dalam setiap waktu yang tersedia di hidupku.