Jalanan kota padang
sudah mulai sesak dengan mobil pribadi dan angkutan umum. Melihat ramai
penumpang di dalam bis, Rendra berani menyelinap di tengah-tengah penumpang. Gitar
yang digantung di lehernya sudah siap untuk dipetik. Seperti biasanya, sebelum mulai
bernyanyi ia meminta izin kepada pak sopir dan mengucapkan salam kepada para
penumpang, perlahan ia memetik senar gitar. Lagu yang beberapa hari telah
dilatih sekarang ia coba untuk nyanyikan ,”But
when you smile at the ground it ain't hard to tell, You don't know,Oh oh,You
don't know you're beautiful..”
Seorang
gadis berambut ikal sebahu dihiasi kulit hitam manis dengan paras cantik melirik ke arah suara. Ia yang tadinya tengah
menggunakan headset tertegun dan mencopot headset itu di telinganya. Suara
seorang pengamen yang baru datang ini telah mencuri perhatiannya. Ia menyimak
suara penyanyi itu. hmm, suaranya bagus
juga, bisiknya. Ia pun asyik mengiringi pengamen itu bernyanyi. Dan tanpa
ia ketahui pengamen itu diam-diam juga melirik aksi cewek manis ini.
Selesai
nyanyi pertama, Rendra mulai dengan nyanyi berikutnya. Biasanya setiap hari ia
bernyanyi minimal dua lagu, tapi sekarang ia sengaja memberi bonus untuk para
penumpang dengan harapan ada bonus juga dari penumpang. Pikiran konyolnya
keluar. Setelah menampung hasil nyanyi barusan, dia melompat cepat keluar dari
mobil. Sambil duduk di kedai kecil ia menghitung hasil pendapatan tadi pagi
hingga sore ini. Ternyata penghasilan tidak begitu banyak, dugaannya salah. Mungkin karena niat yang salah kali ya,
bisiknya dalam hati.
Gadis berbaju kaos yang dilapisi kemeja kotak-kotak hijau
itu melangkah cepat di gang yang selalu ia lewati. Meski penat ia tetap
melangkah semangat. memasuki kamar kosan yang kecil ia menaruh buku-buku yang
dirangkul di perjalanan tadi dan melempar ransel hitam yang begambar tengkorak.
Ia merebahkan badan dan melihat langit-langit kos. Buku-buku yang bertebaran
semalam belum sempat ia bereskan sehingga sekarang ia harus bertanggung jawab untuk merapikannya.
Tiba-tiba teringat dengan pesan salah seorang anak didiknya yang meminta
diceritakan tentang singa si raja hutan. Ia segera bangkit dan memasukkan
flashdisk ke dalam laptop. Membuka folder yang berisi gambar-gambar singa yang
lucu, mem-print
beberapa lembar dan menyediakan kata-kata baru dalam bahasa inggris. Komunitas Junior,
itulah sebutan untuk anak didikan gadis ini dan kedua temannya. Gadis dengan
nama lengkap Hariko ini selain aktif kuliah di jurusan sastra inggris ia juga
mengajar bahasa inggris untuk anak-anak sekolah dasar secara cuma-cuma. Ia
mengajar atas inisiatif dirinya dan dua sahabatnya.
“Sip semua udah beres, saatnya mandi habis itu makan,”gumamnya
Langit kota padang
perlahan gelap dihiasi bulan dan jutaan bintang-bintang. Hariko yang asyik
mengeringkan rambut dengan handuk melihat keluar jendela, ia tidak
menyia-nyiakan kesempatan melihat semburat keindahan langit Kota Padang.
Tiba-tiba ponsel Hariko
berbunyi, dia melirik sebuah pesan yang masuk dari Yona. Berisi ajakan
untuk datang lebih awal besok karena anak-anak asuh ingin mengikuti acara
perlombaan dan ingin ditemani oleh kakak-kakak asuh. Hariko tersenyum senang.
Sejak sebulan yang lalu mengadakan kegiatan berbagi ilmu kepada anak-anak
membuat kesibukannya menjadi berarti.
Pagi itu Hariko berangkat dengan semangat menuju kampus,
jarak kosan yang tidak terlalu dekat mengharuskan dirinya untuk menaiki bis. Pertemuan kelimabelas dengan penyanyi itu,
suaranya bagus, bisiknya lagi. ketika mengeluarkan kocek, tidak hanya uang
yang ia sumbangkan tapi senyuman seikhlas-ikhlasnya turut ia sumbangkan, lelaki
yang memiliki tahi lalat di dagu itu juga membalas dengan senyuman.
Sepulang kuliah, Hariko dan kedua temannya segera menuju
tempat perlombaan anak-anak.
Saat memasuki bis yang barusan
mereka stop, Hariko melempar pemandangannya ke segala arah manatau ada orang
yang selalu mencuri perhatiaannya. Ini adalah hari keberuntungan yang kesekian
baginya. Cowok itu ada lagi.
“Hariko, kamu liat apa?” tanya Gery yang bingung melihat
sikap Hariko.
“Eh, gak kok,” Hariko segera membuang pandangannya dari pengamen
itu.
Dalam perlombaan yang dihadirinya, tak henti-hentinya
sosok itu muncul dipikirannya. Gagah, atletis dan memiliki suara merdu adalah
menggambarkan sosok cowok yang ia temui beberapa hari ini. Tapi, sedikit aneh
memang kalau ia bisa kecantol sama anak yang statusya seorang pengamen. Meskipun pencicilan, ia tidak bisa
sembarangan pilih pacar, protesnya terhadap diri sendiri. Sambil duduk di dekat
pohon nangka yang kebetulan ada tempat duduk santai di sana, dia
membayangkan sosok itu.
“Hariko! Sini,” panggil Sarah
Hariko bangkit dan melangkah ke tempat Sarah yang di sana
sudah ada sekelompok anak yang sedang makan-makan merayakan kemenangan
perlombaan tadi.
“Kamu mikirin apa sih? Kayak orang lagi falling in love aja” celetuk Sarah
“Ah, asal kamu.” Hariko mencoba santai.
Pulang dari kegiatan ini, ia menyempatkan diri untuk
singgah ke toko kaset. Mencari-cari kaset yang jadi tujuannya tiba-tiba
seseorang menghampirinya.
“Hi, Hariko ya?”
Hariko terbelalak, “Iya, kamu kan—,“ belum sempat
ia melanjutkan cowok itu berkata lagi
“Aku Rendra, yang sering manggung di bis,” ia tertawa.
Hariko pengen cepat-cepat pergi dari toko ini, jantungnya
yang berdebar kencang rasa ingin melompat keluar. Kenapa aku ini? Ia bertanya dalam hati.
“Oh, iya. Hmm, aku cabut dulu ya,” Hariko melangkah cepat
ke kasir sambil menenteng kaset yang sudah menjadi pilihannya. Dengan cepat Rendra
mengikuti Hariko dari belakang dan berdiri di belakang mesin kasir.
Rendra mengulurkan tangan seolah ingin meminta kaset yang
di tangan Hariko.
“Aku sebagai kasir di sini,” Rendra menjelaskan ketika
melihat wajah bingung Hariko. Dengan sedikit pipi bersemu merah ia menyerahkan.
“Besok mau request lagu apa?” Rendra bertanya sambil
jemarinya bermain di atas mesin kasir.
“Hmm, terserah aja”
“Jangan gitu dong, anggap aja bonus karena kamu udah beli
kaset di toko ini.” ujarnya santai.
“Toko ini udah jadi langganan aku sejak awal aku mulai
kuliah di kota ini,” Hariko mulai cair dalam suasana
“O ya? Sayangnya aku baru bekerja di sini dan baru
mengenal kamu,” ucapnya dengan nada rendah.
“Ha?” Hariko melongo.
Rendra
hanya cengengesan. Hariko menjadi tambah salah tingkah dengan guyonan Rendra barusan.
Setelah kasetnya terbungkus Hariko melangkah cepat menuju kosannya, berharap
malam ini ia bisa tidur tenang tanpa dihantui bayang-bayang Rendra.
Malam
ini ia tidak bisa tidur nyenyak, paginya ia berangkat ke kampus dengan membawa
lingkaran hitam pada mata ‘mata panda’.
Sore
menuju pulang dengan cuaca yang masih cerah. Selagi duduk di belakang sopir ia
sibuk membaca karangan anak didiknya. Iapun tersenyum-senyum sendirian.
Terdengar
sapaan yang tidak asing lagi di pendengarannya, “Hi Hariko! Aku boleh duduk
disamping kamu gak?” ia bersikap sopan.
“bo—boleh,”jantung
Hariko berdesir. Biasanya cowok ini
mengamen. Tumben jadi penumpang beneran. Bathinnya.
Hanya
senyum malu-malu yang terpancar dari wajah masing-masing. Pas Hariko turun, Rendra
juga turut turun.
Beberapa
pengamen ternyata telah bersiap menyambut kedatangan mereka dua, alunan
musikpun dilantunkan. Rendra adalah superstarnya hari ini. Selesai bernyanyi,
ia mengucapkan sesuatu yang tidak disangka hariko.
“Musik
memang bagian hidupku tapi semua akan kugeser menjadi urutan kedua setelah aku
mengenal kamu. Kamu mau gak jadi orang spesial di hati aku?” ujarnya tulus.
“Hariko
tersentuh mendengar ucapan Rendra barusan. Pertemuan yang sudah berlangsung
hampir tiga bulan ini membuatnya nyaman dengan keberadaan Hariko yang selalu
bersikap sopan setiap kali mereka bertemu. Memang kedekatan mereka tidak disetujui
oleh Gery yang diam-diam menaruh hati pada Hariko.
Semua
mengalir seperti air. Kuliah, mengajar dan pacaran, Hariko lalui dengan senang
hati. Bahkan dalam mengajar sekali-kali Rendra datang untuk menghibur anak-anak
dengan lantunan suara merdunya.
Pagi
itu tubuhnya begitu segar mengingat tidurnya cukup nyenyak semalam. Lelah dalam
aktivitas yang cukup menyibukkan adalah alasan. Siang ini ia minta izin tidak
mengajar karena orangtuanya akan berkunjung ke kosnya. Hariko adalah seorang
anak pejabat kota Jambi. Setelah ditunggu-tunggu mami dan papi akhirnya sampai.
Sebuah
pertanyaan yang membuatnya terperanjat baru saja dikatakan mami, “Mami dengar
kamu lagi dekat sama pengamen bis kota ya?” ucap mami tegas.
“Ng,aku
cuma—“ Hariko mencoba menjelaskan, tapi sudah di potong duluan oleh mami.
“Pokoknya
mami gak mau denger kabar ini lagi. Kalo kamu masih berhubungan sama dia, kamu
akan mami pindahin ke Jambi,” mendengar ancaman itu Hariko terkejut. Kota Padang, sahabat, komunitas Junior, aku
sudah jatuh hati dengan semua ini. Aku tak ingin meniggalkan Kota Padang
sebelum tamat kuliah, bisiknya.
Pilihan yang cukup berat.
Beberapa
hari ini Hariko sengaja menjauhi Rendra, dia yang biasanya naik bis, memilih
naik ojek meskipun sebenarnya ia agak tidak nyaman dengan angkutan ini karena
membuat rambutnya sedikit berantakan sesampai di kampus.
“Kamu
menghindari aku sepertinya,” ucap sosok yang tidak asing lagi datang ketika Hariko
menunggu tukang ojek langganannya.
“Aku..aku
cuma,“ Hariko tidak mampu menjelaskan.
“Kamu
malu punya pacar pengamen dan penjaga toko seperti aku?”
“Gak,
tapi aku,“ lagi-lagi ia tidak bisa berkata jujur.
“Aku
udah tau kok semuanya. Aku ngertiin keadaan kamu. Tapi aku ada sesuatu buat
kamu. Spesial.”
Hariko
hanya diam dan memandang wajah tulus dari mata Rendra.
Andaikan mama memperbolehkan ia dekat
lagi dengan cowok ini. Harapnya
pilu
“Main
ke toko aku yuk,” ajaknya.
“Toko
kamu?” tanya Hariko bingung.
“O ya,
aku belum sempat ngomong ya. Selain menjaga toko aku adalah pemilik baru dari
toko itu. Ayah aku udah menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya sama aku,”jelas Rendra,
” dan, aku gak bakal ngamen lagi. Semua aku lakukan buat dapetin perhatian kamu.
Sesama anak Sastra Inggris harus selalu kompak dong, tangan rendra merangkul Hariko.
Aku bingung dengan semua penjelasan Rendra.
“Kamu
bohongin
aku!” ujarnya menangis sambil merengkul erat Rendra.
Mereka
berdua bernyanyi hingga sampai ko toko “I
have died everyday waiting for you darling, don’t be afraid I have loved you
for a thousand years, I love you for a thousand more…”