Sore itu begitu
mendung, mentari sedari tadi telah bersembunyi di balik awan. Tampak Mak Itam
masih asyik membersihkan halaman rumahnya yang tak begitu luas. Hanya ada
beberapa batang coklat yang buahnya tak menentu kapan untuk dipetik. Tangan Mak
Itam masih asyik melayangkan parang ke pagar hidup. Batang bambu kecil yang memagari
lapau Mak Itam tumbuh rimbun sehingga ia merapikan agar tampak lebih indah.
Rintik-rintik
hujan perlahan turun. Mak Itam berangsur mengemasi parang dan sapu lidi. Tapi sebelumnya
ia mengumpulkan potongan ujung-ujung bambu yang berserakan di tanah dan membuangnya
di onggokan sampah pembakaran. Ia duduk sejenak
melepas lelah, tak lama datang Pak Umar untuk duduk di lapau (kedai) dan
memesan kopi. Mak Itam memasukkan dua sendok kopi dan satu sendok gula saja karena
berhubung Pak Umar tidak terlalu menyukai manis. Lalu tangannya menuangkan air panas dari termos.
Sambil mengaduk ia menanyakan perihal politik. Mak Itam memang sangat tertarik pada
pembicaraan yang berhubungan dengan politik.
“Bagaimana hasil
debat calon kandidat bupati kemarin? Siapa
yang sepertinya akan terpilih nanti?” tanya Mak Itam semangat
“Entahlah, tapi
kalau menurut perkiraan saya sepertinya pasangan Budi-Man. Pak Budi dikenal
sebagai tokoh yang bijaksana dan tegas begitu pula dengan pasangannya. Kalau
saja mereka terpilih, mungkin kabupaten kita ini akan menjadi lebih baik .”
terang Pak Umar.
“Oh, Pak Budi
itu yang dulu pernah menjabat sebagai kepala camat bukan?” Tanya Mak Itam
meyakinkan.
“Ia”, jawab Pak
Umar sembari menyerut kopi buatan Mak Itam.
Beberapa saat
kemudian datang pula beberapa pemuda untuk duduk santai di lapau. Salah seorang
dari mereka mentraktir temannya dengan rokok. Ada yang menolak dengan alasan
tidak terbiasa
“Ah, sok tidak
merokok pula. Jangan mengaku laki-laki kalau belum mencoba rokok Rif.” Begitu ujar pemuda yang menawarkan rokok itu
dan iya kembali menyodorkan rokok yang ditangannya. Tapi lagi-lagi pemuda itu
menolak.
”Ah dasar, anak
mami ya?” cemoohnya. Tapi Arif hanya diam. Merasa belum puas, terdengar
ucapannya entah mengancam atau hanya
sebuah gurauan semata.
“Kalau kamu
tidak merokok tidak usah saja ikut bertanam besok!”
Arif langsung
kaget mendengarnya. Mak Itam yang mendengar gurauan pemuda itu langsung
menenangkan keadaan.
“ Sudahlah,
kalau dia tidak mau kenapa dipaksa?” ucapnya.” Traktir saja dia dengan yang
lain. Masih banyak yang bisa di makan disini. Ada kopi, limun, roti, peyek,
kacang goreng juga baru datang tadi.”
“Saya makan
kacang saja lah Di” cepat- cepat Arif mengambil inisiatif
“Ya sudahlah,”
balas Adi yang mengeluarkan beberapa lembar uangnya untuk membayar
traktirannya. “ Ini Mak Itam, yang kacang jangan dihitung. Biar saja dia yang
bayar.”
Adi langsung
berjalan meninggalkan lapau bersama beberapa pemuda lain. Arif yang bingung
harus membayar kacang dengan apa langsung mendekati Mak Itam
“Mak, bayarnya
besok saja ya. Saya tidak bawa uang,” bisiknya
“Ya sudah ambil
saja. Anggap saja sebagai hadiah karena kamu memiliki komitmen yang kuat,”
balas Mak Itam sambil tersenyum. Arif pun pergi meninggalkan lapau dan menyusul
rombongan tadi.
Di kampungku
merokok memang sudah menjadi kebiasaan. Lebih dari separuh pemuda maupun orang
dewasa yang merokok. Tapi dari sikapnya tadi, bukan berarti Arif tidak
menghargai kawan, hanya saja ia tidak mau mencoba. Mencoba sama halnya
seterusnya, karena rokok hanya akan membuatnya ketagihan, itu menurutnya.
Ancaman Adi sebenarnya tidaklah serius, hanya gurauan untuk menguji nyali Arif.
Hal itu terbukti esok paginya mereka tampak berjalan menuju sawah Uni Ida untuk
bertanam dan keakraban mereka terlihat seperti biasanya.
Sore menjelang
malam, suara azan magrib mendayu-dayu di kampung yang penuh persawahan yang
telah menguning. Aku bersama adik bergegas menuju surau (mesjid). Setelah shalat magrib aku mampir ke lapau Mak
Itam untuk membeli kacang yang nantinya dimakan di rumah. Sebenarnya aku
berencana untuk membeli tiga bungkus saja karena uang seribu lima ratus hanya
cukup untuk membeli tiga bungkus kacang goreng. Tapi Mak Itam menambah dua
bungkus kacang lagi.
“ Ini untuk emak
dan juga abak.” ucapnya
“ Terimakasih
Mak Itam. Kami pulang dulu ya Mak Itam.” aku izin diri
“Iya, Tina. O
ya, besok hari jum’at, tolong jagain lapau Mak Itam ya” pintanya
“Iya Mak Itam.”
jawabku berat dan hilang dikerumunan kegelapan menuju rumah yang hanya
diterangi oleh cahaya senter yang kami bawa.
Setiba di rumah
aku mengeluarkan kacang yang tersimpan di saku. Aku menceritakan pada emak
perihal tadi.
“Tadi Mak Itam
memberi kacang untuk emak dan abak.”
Emak
tersenyum.“Tidak lupa mengucapkan terimakasih kan?” tanya emak
“Tentu tidak
lupa mak,” balasku semangat. “tapi besok aku diminta untuk jagain lapau lagi
mak. Bosan rasanya setiap Jum’at aku harus menunggui lapau Mak Itam.” ujarku
lesu
“Jangan berkata
begitu,” ucap amak meluruskan. “ Mak Itam kan niatnya ke mesjid,untuk shalat.
Kalau kamu ikhlas tentu akan dapat pahala.” nasehat amak membuatku jadi sedikit
pengertian.
Esok harinya
datang, sebelum Jum’at aku yang tengah asyik bermain dengan adik dipanggil Mak
Itam.
“Tina, Mak Itam
ke mesjid, tolong jagain lapau ya.” pinta Mak Itam. Lalu aku mengajak adik
untuk menjaga lapau Mak Itam. Jika ada pembeli aku langsung mengambilkan
permintaan pembeli tersebut, mak itampun mempercayakan kotak uangnya. Kalau-kalau
dibutuhkan untuk kembalian.
Mak Itam adalah
mamakku (paman), ia memiliki hubungan saudara dengan emak. Istrinya telah
meninggal dunia dua puluh lima tahun yang silam. Sebenarnya Mak Itam memiliki
seorang anak perempuan, namun anaknya itu telah menikah dan harus ikut dengan
suaminya merantau. Mak Itam tinggal
seorang diri di lapau yang di belakangnya ada dua ruang sederhana yang salah
satunya dijadikan kamar. Baru-baru ini terdengar
kabar dari emak bahwa Mak Itam berencana menyewakan lapaunya karena merasa
sudah berat untuk berjualan lagi.
Ternyata esoknya
datang seorang bapak untuk menyewa lapau Mak Itam. Ia sebenarnya sudah
berjualan juga, tetapi karena kontrak lapau yang sebelumnya sudah habis ia
mencari tempat baru. Mak Itam merasa senang akan hal itu. Penyewa itu berjualan
bahan keperluan sehari-hari. Syukurpun
mak itam haturkan, uang sewa lapau cukup untuk digunakan Mak Itam untuk
keperluan sehari-hari.
Belakangan ini
amak sering menyuruhku mengantar gulai untuk Mak Itam. Mak itam mengaku sudah beberapa
hari sakit sehingga tidak sempat memasak. Wajah tua Mak Itam tampak jelas
dengan guratan-guratan di dahinya. Usia Mak Itam sudah 83 tahun. Sewaktu
mengantar makanan, ia sering bercerita kepadaku tentang sejarah tempo dulu,
tentang perjuangan kepahlwanan. Aku tertarik dengan cerita itu, kisah-kisah Mak
Itam semasa muda juga tergambar sebagai pemuda pemberani. Ditengah cerita Mak
Itam meramalku,dari garis-garis tangan ia mencoba membaca masa depanku.
Hasilnya cukup menarik, katanya rezeki mengalir deras kelak. Aku senang
mendengarnya. Tapi ia berpesan agar tidak terlalu percaya.
“ Ramalan adalah
penyemangat dari Mak Itam, tentu yang menentukan nantinya adalah usahamu dan
takdir Tuhan. Jadi rajin-rajinlah belajar agar kelak mendapat pekerjaan yang
kau inginkan.” ucapnya.
Aku mengangguk.
Ia pun memberikan sebuah pajangan kaligrafi yang sudah tua. Meski tampak tua
tapi aku sangat menyukainya, berhubung karena aku suka dengan benda tua yang
bisa di bilang antik.
“Ini adalah
salinan ayat Alqur’an surat Al-Iqra’. Di dalamnya ada perintah untuk membaca.
Bacalah alqur’an dan bacaan apapun yang baik-baik.” nasehatnya
Aku senang
memiliki seorang paman yang memberikan nasehat baik untukku. Terpintas
penyesalan di benakku, dulu setiap kali ia memintaku untuk menjaga lapau, aku
selalu berat hati. Benar kata ibu, Mak Itam menitipkan lapaunya dengan alasan
untuk shalat, waktunyapun cukup singkat tapi aku selalu berat hati untuk
melakukannya. Aku benar-benar menyesal sekarang.
Malam ini suara
takbir bergelora di bumi pertiwi. Esok adalah hari Raya Idul Adha. Kami
sekeluarga mempersiapkan pakaian untuk esok. Emak dan abak malam ini singgah ke
lapau untuk melihat kondisi Mak Itam. Mak itam duduk berhadapan dengan emak dan
abak sambil ditemani secangkir kopi favoritnya yang diletakkan di atas meja di
depan mereka. Malam itu Mak Itam kata ibu tampak lebih cerah dari sebelumnya
tapi shubuhnya Pak Maman yang menyewa lapau mengetuk pintu rumah kami dengan
tergesa-gesa. Ia memberi kabar yang mengejutkan, Mak Itam telah pergi, pergi
untuk selamanya. Seluruh keluarga terkejut dan sedih. Aku yang dikala itu masih
berusia sebelas tahun dapat merasakan bagaimana rasanya kehilangan seorang
mamak. Mak Itam pergi bertepatan dengan hari Raya Idul Adha. Jenazah Mak Itam
di bawa ke rumah kami atas permintaan emak. Pagi itu kami tetap shalat idul
adha kecuali emak, ia dan Uni Ida menemani jenazah. sebelumnya aku sempatkan
diri untuk membaca yassin. Sepulang shalat warga berdatangan untuk melihat Mak
Itam tertidur lelap di hari yang fitri, kembali kepangkuan sang Khaliq.