Siapa bilang kalo sudah dewasa
harus berfikir realistis dan menggunakan logika. Begitupun cinta? Belum jua
menemukan kata itu dari lubuk hati terdalam. Tapi cinta kepada Tuhan, orangtua
dan saudara tentu sudah ada. Bagaimana dengan pasangan? Oh, lupakan. Toh aku
bisa tetap hidup meski tidak ada pacar. 17 belas tahun memangnya sudah wajib
punya pacar ya?
Memang tidak wajar jika aku tidak merasakan dag dig
dug ketika berhadapan dengan lawan jenis.
Itu sih kata orang-orang. Padahal aku normal, buktinya aku selalu salah tingkah
setiap kali bertemu dengan seorang senior yang sampai sekarang aku tak tau
namanya, padahal sudah dua tahun aku berada di sekolah ini. Ya, aku sengaja
tidak mencari tau, dia sudah punya kekasih. Apa daya angan tak sampai.
Sekolah ini hanya tau kalo aku jatuh cinta
pada gantungan kunci merpati putih yang selalu setia di sakuku. Dan sering aku dibilang
gila—hampir di setiap tempat aku mencium
merpati ini. Terus
terang aku bukanlah pencinta merpati, tapi bagiku merpati itu melambangkan
kesucian—putih, bersih. Dan kemanapun
terbang ia pasti kembali. Mungkin itu pula yang aku harapkan untuk seseorang
yang akan hadir, yang tidak tau entah kapan ia datang.
Statusku
sekarang jomblo, dan pacaran hanya sekali seumur hidup—
ketika aku masih kelas 3 SMP. Mantanku bernama…., ah buat apa aku
beritahu. Tapi yang pasti dia yang memutuskanku. Penyebabnya karena aku tidak
mau memberikan gantungan merpati ini. Aku belum yakin dia benar-benar cinta
sejatiku, mama sering bilang begitu. Apakabarnya sekarang? Dua tahun tidak
bertemu.
“Hai
gadis merpati!”
Aku
memutar wajah ke arah suara, banyak memang yang memanggilku gadis merpati.
Mungkin karena kegilaanku ini—apapun yang
aku miliki ada motif merpati.
Siapa
sangka dua tahun tidak bertemu dia berubah, tambah tinggi, tegap dan tampan—aku terpaksa jujur. Mungkin dialah, merpatiku
kembali. Love me again, Radit!