Semoga dengan
tulisan ini, cinta kita semakin menjadi. kita saling rangkul dan peduli.
Indonesia bukan
milik pribadi
adakakalanya puisi tak bertema
adakalanya puisi hilang arah
adakalanya nyanyian adalah kehampaan
berkerikil dan tumpah jadi darah
guratan kokoh usang
dan bathin berteriak lelah bertahan
rapuh dan goyah
kuceritakan tentang hati yang merangkul sepi
dan takkan lama aku bersamamu dalam dunia mimpi
Ketika ada yang bertanya kenapa kau tumbuh dan lahir di sana
(Indonesia)?
Maka bukan takdir jawabannya.
‘Kan kujawab, “Tuhan memberikan tempat terbaik untuk kita
bertumbuh dan dewasa”.
Kulantunkan nada-nada
kebanggaan padamu, oh negaraku.
Kucerita juga sesosok
pertiwi yang bersahaja pada generasiku.
Kelak negeriku lebih
bertumbuh pada dekade dan dimensi-dimensi baru.
Pun kulibatkan doa
tentang sebuah tempo dulu, dan itulah dirimu.
Kulantunkan nada-nada
kebanggaan padamu, oh negaraku.
Kucerita juga sesosok
pertiwi yang bersahaja pada generasiku.
Kelak negeriku lebih
bertumbuh pada dekade dan dimensi-dimensi baru.
Pun kulibatkan doa
tentang sebuah tempo dulu, dan itulah dirimu.
Akuarium raksasa
menjelma menjadi surga, penghuni berjuta di dalamnya.
Kini negeriku dikenal
hingga belahan dunia.
Akuarium raksasa
menjelma menjadi surga, penghuni berjuta di dalamnya.
Kini negeriku dikenal
hingga belahan dunia.
Oh, negaraku begitu
gagah.
Berdoa aku, agar tak
rebah.
Pernah dulu sekali,
negaraku terjajah, bukan mengibar bendera kalah.
Negeriku tak pernah
menyerah, hingga tetes darah.
Kubaca prosa dulu,
alkisah sebuah permata tidak dibentuk pesulap tiba-tiba.
Berjuta tahun perut
bumi mengandung lamanya.
Hingga terbentuk janin
berupa emas, minyak bumi dan saudaranya.
Terpesona aku pada
kesabaran pertiwi, ia telah melahirkan bayi suci.
Tiap pagi kuhirup
udara segar, aku kira pertabungnya aku membayar. Tapi Tuhan tidak menagih
bayaran.
Tiap pagi aku meneguk
air mengalir, aku kira pergelasnya aku membayar. Tapi Tuhan tidak menagih
bayaran.
Tiap pagi aku jejaki
tanah lapang, aku kira permeternya aku membayar. Tapi Tuhan tidak menagih
bayaran.
Tuhan hanya ingin aku bersyukur dan
berpintar-pintar.
Kusaksikan jutaan
pohon menghujam ke tanah, dengan perakaran yang tiada goyah.
Menjulang ke langit
tiada irit. Disitulah kutemukan potret alam nan megah.
Hutanku berkobar
menjadi paru-paru penelan lelah.
Bunga mekar tersenyum,
memecah warna di pelupuk mata.
Terpesona aku padanya.
Terbuai dan dimanja.
Kucing dan singa
saling mengaca, tak peduli siapa kuat.
Dan menyadari mereka
berkerabat.
Melompat sang bunglon
bermain warna.
Dari sanalah tersirat
bangga. Aku punya warna Negara.
Kawanan merak berdansa
seribu bahasa, menarikan tradisi Indonesia.
Kupotret dengan cinta
gerakannya.
Lautku berlagu lagu
rindu, seorang kawan bertanya padaku.
Banggakah kau memiliki
seorang ibu (pertiwi). Aku jawab, “ Tentu!”
Ketika kutemani ibu
memasak, ada setumpuk harta karun di lemari dapur.
Senyum ibu mengepul.
Aku tau, ibuku tengah mencari-cari sejarah pada zaman leluhur.
Memasak untuk memadamkan
kelaparan yang terlanjur.
Yang kutau dulunya hanya makan.
Ibu menerangkan, kita adalah rantai makanan.
Jangan sekali-kali meludahi tanaman.
Dulu pernah terdengar suara elang, sambil terbang ia
melayang. Tak tau arah jalan pulang.
Pun ular bersuara, jika aku mati, tentu juga kau malang dan
cepat pulang.
Oh, Indonesiaku. Tanahmu subur. Berayun-ayun dahan dan
ranting bersyukur.
Deru gelombang angin kian lenyap gugur, semangat juang kian
mencucur.
Setiap waktu menjadi penghibur. Indonesiaku, aku mujur!
Cerita klasik tentang kapas memintal, kopi yang menguar, tebu
yang mengkristal dan karet yang mengental. Selalu tercium hidup hingga kini dan
kekal.
Karena elemen ini, Indonesia memiliki permadani untuk
dikenal.
Terbang dan terus terbang hingga berakhir perjalanan sakral.
Kesyukuran yang tiada
putus mengucap bait-bait, bertumbuh bumiku.
Baktiku untukmu,
senyumku untukmu, darahku untukmu, ragaku untukmu.
Sebaik-baiknya aku
perjuangkan sebuah cahaya pabila gulita berkelana.
Kutersipu menjadi anak
Indonesia.