Formulir Kontak

 

Cerpen; Beri Aku Senyuman



Malam yang dingin dan kaku, dengan kamar bercahaya putih sengaja diganti dengan lampu tidur yang membiaskan cahaya kuning. Semburat lampu teras rumah diam-diam masuk ke jari-jari ventilasi. Aku mengamati lekat-lekat. Namun memilih membisu di dalam kamar sendirian, meringkuk. Bersikap menjadi gadis manis yang tidak seorangpun tau kecuali ibu, betapa sakitnya bertahan dalam raga yang setiap waktu selalu mendapatkan tatapan miring dari orang sekitar. Oh tidak, sampai kapan aku akan bertahan? Itu kalimat yang selalu aku bisikkan dalam hati.
Hari-hariku memberikan aroma-aroma kematian yang tertancap dalam di bathin ini. Kapan detik waktu tak berputar lagi untukku? Kapan suara-suara sumbang di luar sana tak lagi diperdengarkan? Dan kapan saatnya aku tak melihat tatapan sinis mata sang penghakim ulung. Mereka yang seenaknya menghakimi padahal bukan hakim, mereka yang seenaknya meludahi padahal bukan majikan, mereka yang seenaknya mencaci maki padahal bukan Tuhan. Begitu miris, menyayat dan bagai luka yang ternganga disiram butiran garam.
Perlahan aku bangkit dan membuka tirai-tirai jendela. Berdiri sebagai penonton yang tidak dikehendaki kehadirannya. Menyaksikan betapa orang-orang di luar sana merasakan kebebasan tanpa batasbebas merasakan kebahagiaan dan tersenyum. Bersama orang-orang yang senantiasa mengajari mereka arti hidup yang sesungguhnya. Kenapa aku bukan terlahir untuk menjadi mereka?  
Diam-diam aku memperhatikan mata yang penuh kebahagiaan, senyuman yang mengambang di bibir mereka. Aku berpikir keras, bahkan sudah tak terhitung hari kapan terakhir aku bisa tersenyum seperti itu. Aku ingin belajar lagi untuk tersenyum. Kapankah?
Pintu kamar perlahan terbuka, aku segera mengelap air mata yang terlanjur jatuh tanpa kusadari. Kehadiran ibu selalu memberikan aroma baru bagiku. Kesabaran dan kasih putihnya tak pernah pupus meski aku seperti ini. Ia melangkah anggun, dan aku memutar badan ke arah ibu. Dengan lembut ia berkata, “Nak, sudah diminum obatnya?”
Seperti anak kecil yang takut meminum obat, aku menjawab jujur pada ibu,” Belum Bu,” aku menunduk.
“Kenapa? Bukankah ingin sembuh?” ibu mengusap kepalaku halus.
Bathinku berucap, ibu aku ingin cepat-cepat mengakhiri bebanmu.
Namun seolah mendengar ucapanku,  ibu berkata, “Nak, sampai kapapun jangan pernah merasa merepotkan ibu. Dalam sujud ibu selalu berdo’a berharap kesembuhanmu itu akan ada,” jelas ibu sambil meneteskan air mata.
Meski ibu begitu yakin, namun  aku entah kenapa tidak merasakan hadirnya harapan itu. Obat ini hanya untuk memperlambat, bukan membasmi. Aku sudah bosan dengan hari-hariku seperti ini. Bahkan untuk keluar rumahpun aku malu, takut dan selalu diremehkan.
“Ibu, aku rindu dengan senyuman orang-orang yang tulus memberikannya padaku. Mereka di luar sana selalu melayangkan cacian. Aku ingin pergi saja, jauhkan obat-obat ini dariku ibu. Mungkin lebih baik aku mati dan dengan begitu aku takkan lagi membebani ibu,” aku menangis dilutut ibu berharap ibu mau mengabulkan keinginanku—menghentikan pengobatan.
Tanpa kusangka ibu pergi meninggalkanku. Ia melangkah cepat dan aku mendengar ia tersedu. Dalam beberapa menit terduduk dalam tangisan, aku memutuskan melangkah ke kamar ibu. Kulihat dan perhatikan lebih dekat, ternyata ibu tidak berhenti menangis sedari tadi. Ia membuka lembaran album lama dan merangkulnya erat. Seolah merindukan masa yang pernah hadir, masa yang penuh dengan semburat senyuman.
Perlahan aku melangkah mendekat ke arah ibu, “Ibu, maafkan aku,” aku berkata pelan.
Ia mengangkat wajah dan memperlihatkan foto di album itu,” Nak, foto ini adalah foto kita, ayah, ibu dan kamu. Setiap manusia pasti nantinya akan meninggal. Tapi satu hal yang perlu kau ingat, janganlah pernah mendahului takdir. Itu pesan ayah sebelum ia pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Selagi ibu masih mampu membelikanmu obat, selama kamu masih berada di pelukan ibu, selama itu pula ibu akan memberikan senyuman tulus padamu,” Ibu merangkulku dengan erat. Lagi-lagi aku menangis dipelukan ibu, menyesal karena telah menyakiti perasaannya.
Sudah begitu sering airmata ini terjatuh, entah berapa kali pagi mataku selalu menatap sembab mentari yang mencoba bertegur sapa. Entah berapa kali bulan juga aku mengurung diri di rumah kecil ini. Kecerobohan yang telah kulakukan ketika menjadi warga asing di kota sendiri. Membutakan hatiku, betapa hidup ini nikmat hanya dengan satu tusukan jarum suntik. Dan hanya dalam beberapa bulan setelah itu aku di diagnosa  menderita HIV Aids. Sungguh kebodohan yang tak pernah termaafkan. Namun aku aku selalu mengingat ucapan ibu, Setiap manusia pasti nantinya akan meninggal. Tapi satu hal yang perlu kau ingat, janganlah pernah mendahului takdir. Selagi ibu masih mampu membelikanmu obat, selama kamu masih berada di pelukan ibu, selama itu pula ibu akan memberikan senyuman tulus padamu. Mulai detik ini, aku akan menjalani sisa hidupku dengan sebaik-baiknya. Bersama ibu yang senantiasa mencintaiku dan setiap waktu memberikan senyuman tulus.

Total comment

Author

Triana Irsyad

0   komentar

Posting Komentar

Cancel Reply