Formulir Kontak

 

Cerpen; Mak itam



Sore itu begitu mendung, mentari sedari tadi telah bersembunyi di balik awan. Tampak Mak Itam masih asyik membersihkan halaman rumahnya yang tak begitu luas. Hanya ada beberapa batang coklat yang buahnya tak menentu kapan untuk dipetik. Tangan Mak Itam masih asyik melayangkan parang ke pagar hidup. Batang bambu kecil yang memagari lapau Mak Itam tumbuh rimbun sehingga ia merapikan agar tampak lebih indah.
Rintik-rintik hujan perlahan turun. Mak Itam berangsur mengemasi parang dan sapu lidi. Tapi sebelumnya ia mengumpulkan potongan ujung-ujung bambu yang berserakan di tanah dan membuangnya di onggokan sampah pembakaran. Ia duduk sejenak  melepas lelah, tak lama datang Pak Umar untuk duduk di lapau (kedai) dan memesan kopi. Mak Itam memasukkan dua sendok kopi dan satu sendok gula saja karena berhubung Pak Umar tidak terlalu menyukai manis. Lalu  tangannya menuangkan air panas dari termos. Sambil mengaduk ia menanyakan perihal politik. Mak Itam memang sangat tertarik pada pembicaraan yang berhubungan dengan politik.
“Bagaimana hasil debat calon kandidat  bupati kemarin? Siapa yang sepertinya akan terpilih nanti?” tanya Mak Itam semangat
“Entahlah, tapi kalau menurut perkiraan saya sepertinya pasangan Budi-Man. Pak Budi dikenal sebagai tokoh yang bijaksana dan tegas begitu pula dengan pasangannya. Kalau saja mereka terpilih, mungkin kabupaten kita ini akan menjadi lebih baik .” terang Pak Umar.
“Oh, Pak Budi itu yang dulu pernah menjabat sebagai kepala camat bukan?” Tanya Mak Itam meyakinkan.
“Ia”, jawab Pak Umar sembari menyerut kopi buatan Mak Itam.
Beberapa saat kemudian datang pula beberapa pemuda untuk duduk santai di lapau. Salah seorang dari mereka mentraktir temannya dengan rokok. Ada yang menolak dengan alasan tidak terbiasa
“Ah, sok tidak merokok pula. Jangan mengaku laki-laki kalau belum mencoba rokok Rif.”  Begitu ujar pemuda yang menawarkan rokok itu dan iya kembali menyodorkan rokok yang ditangannya. Tapi lagi-lagi pemuda itu menolak.
”Ah dasar, anak mami ya?” cemoohnya. Tapi Arif hanya diam. Merasa belum puas, terdengar ucapannya entah  mengancam atau hanya sebuah gurauan semata.
“Kalau kamu tidak merokok tidak usah saja ikut bertanam besok!”
Arif langsung kaget mendengarnya. Mak Itam yang mendengar gurauan pemuda itu langsung menenangkan keadaan.
“ Sudahlah, kalau dia tidak mau kenapa dipaksa?” ucapnya.” Traktir saja dia dengan yang lain. Masih banyak yang bisa di makan disini. Ada kopi, limun, roti, peyek, kacang  goreng juga baru datang tadi.”
“Saya makan kacang saja lah Di” cepat- cepat Arif mengambil inisiatif
“Ya sudahlah,” balas Adi yang mengeluarkan beberapa lembar uangnya untuk membayar traktirannya. “ Ini Mak Itam, yang kacang jangan dihitung. Biar saja dia yang bayar.”
Adi langsung berjalan meninggalkan lapau bersama beberapa pemuda lain. Arif yang bingung harus membayar kacang dengan apa langsung mendekati Mak Itam
“Mak, bayarnya besok saja ya. Saya tidak bawa uang,” bisiknya
“Ya sudah ambil saja. Anggap saja sebagai hadiah karena kamu memiliki komitmen yang kuat,” balas Mak Itam sambil tersenyum. Arif pun pergi meninggalkan lapau dan menyusul rombongan tadi.
Di kampungku merokok memang sudah menjadi kebiasaan. Lebih dari separuh pemuda maupun orang dewasa yang merokok. Tapi dari sikapnya tadi, bukan berarti Arif tidak menghargai kawan, hanya saja ia tidak mau mencoba. Mencoba sama halnya seterusnya, karena rokok hanya akan membuatnya ketagihan, itu menurutnya. Ancaman Adi sebenarnya tidaklah serius, hanya gurauan untuk menguji nyali Arif. Hal itu terbukti esok paginya mereka tampak berjalan menuju sawah Uni Ida untuk bertanam dan keakraban mereka terlihat seperti biasanya.
Sore menjelang malam, suara azan magrib mendayu-dayu di kampung yang penuh persawahan yang telah menguning. Aku bersama adik bergegas menuju surau (mesjid).  Setelah shalat magrib aku mampir ke lapau Mak Itam untuk membeli kacang yang nantinya dimakan di rumah. Sebenarnya aku berencana untuk membeli tiga bungkus saja karena uang seribu lima ratus hanya cukup untuk membeli tiga bungkus kacang goreng. Tapi Mak Itam menambah dua bungkus kacang lagi.
“ Ini untuk emak dan juga abak.” ucapnya
“ Terimakasih Mak Itam. Kami pulang dulu ya Mak Itam.” aku izin diri
“Iya, Tina. O ya, besok hari jum’at, tolong jagain lapau Mak Itam ya” pintanya
“Iya Mak Itam.” jawabku berat dan hilang dikerumunan kegelapan menuju rumah yang hanya diterangi oleh cahaya senter yang kami bawa.
Setiba di rumah aku mengeluarkan kacang yang tersimpan di saku. Aku menceritakan pada emak perihal tadi.
“Tadi Mak Itam memberi kacang untuk emak dan abak.”
Emak tersenyum.“Tidak lupa mengucapkan terimakasih kan?” tanya emak
“Tentu tidak lupa mak,” balasku semangat. “tapi besok aku diminta untuk jagain lapau lagi mak. Bosan rasanya setiap Jum’at aku harus menunggui lapau Mak Itam.” ujarku lesu
“Jangan berkata begitu,” ucap amak meluruskan. “ Mak Itam kan niatnya ke mesjid,untuk shalat. Kalau kamu ikhlas tentu akan dapat pahala.” nasehat amak membuatku jadi sedikit pengertian.
Esok harinya datang, sebelum Jum’at aku yang tengah asyik bermain dengan adik dipanggil Mak Itam.
“Tina, Mak Itam ke mesjid, tolong jagain lapau ya.” pinta Mak Itam. Lalu aku mengajak adik untuk menjaga lapau Mak Itam. Jika ada pembeli aku langsung mengambilkan permintaan pembeli tersebut, mak itampun mempercayakan kotak uangnya. Kalau-kalau dibutuhkan untuk kembalian.
Mak Itam adalah mamakku (paman), ia memiliki hubungan saudara dengan emak. Istrinya telah meninggal dunia dua puluh lima tahun yang silam. Sebenarnya Mak Itam memiliki seorang anak perempuan, namun anaknya itu telah menikah dan harus ikut dengan suaminya  merantau. Mak Itam tinggal seorang diri di lapau yang di belakangnya ada dua ruang sederhana yang salah satunya dijadikan kamar. Baru-baru ini  terdengar kabar dari emak bahwa Mak Itam berencana menyewakan lapaunya karena merasa sudah berat untuk berjualan lagi.
Ternyata esoknya datang seorang bapak untuk menyewa lapau Mak Itam. Ia sebenarnya sudah berjualan juga, tetapi karena kontrak lapau yang sebelumnya sudah habis ia mencari tempat baru. Mak Itam merasa senang akan hal itu. Penyewa itu berjualan bahan keperluan sehari-hari.  Syukurpun mak itam haturkan, uang sewa lapau cukup untuk digunakan Mak Itam untuk keperluan sehari-hari.
Belakangan ini amak sering menyuruhku mengantar gulai untuk Mak Itam. Mak itam mengaku sudah beberapa hari sakit sehingga tidak sempat memasak. Wajah tua Mak Itam tampak jelas dengan guratan-guratan di dahinya. Usia Mak Itam sudah 83 tahun. Sewaktu mengantar makanan, ia sering bercerita kepadaku tentang sejarah tempo dulu, tentang perjuangan kepahlwanan. Aku tertarik dengan cerita itu, kisah-kisah Mak Itam semasa muda juga tergambar sebagai pemuda pemberani. Ditengah cerita Mak Itam meramalku,dari garis-garis tangan ia mencoba membaca masa depanku. Hasilnya cukup menarik, katanya rezeki mengalir deras kelak. Aku senang mendengarnya. Tapi ia berpesan agar tidak terlalu percaya.
“ Ramalan adalah penyemangat dari Mak Itam, tentu yang menentukan nantinya adalah usahamu dan takdir Tuhan. Jadi rajin-rajinlah belajar agar kelak mendapat pekerjaan yang kau inginkan.” ucapnya.
Aku mengangguk. Ia pun memberikan sebuah pajangan kaligrafi yang sudah tua. Meski tampak tua tapi aku sangat menyukainya, berhubung karena aku suka dengan benda tua yang bisa di bilang antik.
“Ini adalah salinan ayat Alqur’an surat Al-Iqra’. Di dalamnya ada perintah untuk membaca. Bacalah alqur’an dan bacaan apapun yang baik-baik.” nasehatnya
Aku senang memiliki seorang paman yang memberikan nasehat baik untukku. Terpintas penyesalan di benakku, dulu setiap kali ia memintaku untuk menjaga lapau, aku selalu berat hati. Benar kata ibu, Mak Itam menitipkan lapaunya dengan alasan untuk shalat, waktunyapun cukup singkat tapi aku selalu berat hati untuk melakukannya. Aku benar-benar menyesal sekarang.
Malam ini suara takbir bergelora di bumi pertiwi. Esok adalah hari Raya Idul Adha. Kami sekeluarga mempersiapkan pakaian untuk esok. Emak dan abak malam ini singgah ke lapau untuk melihat kondisi Mak Itam. Mak itam duduk berhadapan dengan emak dan abak sambil ditemani secangkir kopi favoritnya yang diletakkan di atas meja di depan mereka. Malam itu Mak Itam kata ibu tampak lebih cerah dari sebelumnya tapi shubuhnya Pak Maman yang menyewa lapau mengetuk pintu rumah kami dengan tergesa-gesa. Ia memberi kabar yang mengejutkan, Mak Itam telah pergi, pergi untuk selamanya. Seluruh keluarga terkejut dan sedih. Aku yang dikala itu masih berusia sebelas tahun dapat merasakan bagaimana rasanya kehilangan seorang mamak. Mak Itam pergi bertepatan dengan hari Raya Idul Adha. Jenazah Mak Itam di bawa ke rumah kami atas permintaan emak. Pagi itu kami tetap shalat idul adha kecuali emak, ia dan Uni Ida menemani jenazah. sebelumnya aku sempatkan diri untuk membaca yassin. Sepulang shalat warga berdatangan untuk melihat Mak Itam tertidur lelap di hari yang fitri, kembali kepangkuan sang Khaliq.

Total comment

Author

Triana Irsyad

0   komentar

Posting Komentar

Cancel Reply