Formulir Kontak

 

Cerpen; Emon dan Clara



            “Sekarang bukan waktunya bersenang-senang lagi, kita akan menghadapi Ujian Nasional, jadi lo jangan ajak gue buat bergabung dalam kegiatan aneh-aneh lo.”
            “well, yakin?”
            “he-eh”
            “besok gue ada kegiatan di aula Kampoeng Sehat Gizi, dan di sana bakal ada bintang tamu yang bikin lo menjerit setengah mati”
            “Gak bakal mempan, udah ya gue cabut dulu” Clara meninggalkan Emon yang masih sibuk dengan kertas-kertas berserakan di atas meja.
            “eh, ada Afgan lo!”
            “Titipin salam gue ya,” clara melambaikan tangan. Tumben gak mempan.
Minggu ini bisa di bilang Emon gak ada waktu santai, tinggal menghitung hari untuk mempersiapkan even tahunan sebuah komunitas gizi. Dan bisa di bilang ini kali terakhir Emon untuk menyibukkan diri. Benar kata Clara gak banyak waktu untuk yang lain, fokus dengan Ujian Nasional yang tinggal menghitung bulan.
            Emon berstatus sebagai siswa kelas tiga SMA, tapi kecintaannya pada organisasi membuatnya ingin terjun dalam kegiatan apapun dan salah satunya yang sedang ia geluti sekarang ini. Meskipun dalam komunitas ini kebanyakan dari level mahasiswa, Emon sangat tertarik ingin bergabung. “Ini kan kegiatan sosial, jadi sebagai warga Indonesia yang peduli dengan kesehatan masyarakat, gue mau dong” ujarnya. Ia gak pikir panjang, langsung ambil ajakan sepupunya ini.
            Berhubung Emon lagi sibuk, Clara hari ini berjalan sendiri menuju rumah. Biasanya sih selalu bareng sama Emon dan ikut setiap kegiatan teman karibnya yang satu ini. Tapi karena ia ingat pesan mama harus pulang tepat waktu. Janji ingin mendapatkan nilai bagus di ujian akhir ini.
Nyampe rumah, ganti baju, makan langsung belajar sama guru tambahan yang di cariin mama. Itu jadwal terbaru yang harus dijalani Clara dan berlaku mulai hari ini. Baru saja keluar kamar dari lantai dua, Clara sudah melihat kedatangan seseorang yang bikin dia menarik nafas dalam-dalam. Huh, jam segini udah datang? Gue kan belom makan.
            Ia turun dengan lemas, tidak seperti biasanya yang selalu lompat-lompat menuruni tangga (pocong kali, lompat-lompat).
Perlahan ia mengintip wajah seseorang yang membelakanginya. Dan Clara jadi kaget lantaran orang yang dia intip menyadari kedatangannya.
            “Sudah siap untuk belajar hari ini, Clara?” pertanyaan guru privat membuatnya tegang.
            “Nngg, bentar ya Bu. Saya belum makan. Ibu mau makan bareng saya?” Clara mencoba rileks.
Bu Dhea menggeleng dan mengulum senyum. Clara berjalan menuju dapur. Aneh, padahal guru itu begitu ramah, kok malah tegang gitu rasanya? Apa mungkin aku benci sama pelajaran yang dia ajarkan kali ya? Bathin Clara
            Nafsu makannya jadi berkurang, masih ada setengah makanan yang tersisa dan Clara memutuskan untuk menyudahi makannya dan berjalan menuju teras samping dekat tamantempat belajar. Selang setengah jam ketegangan itu mulai pudar, nah benar kata mama. Gurunya asyik dan bikin cepet nangkep apa yang dijelaskan.
            “Ada lagi yang ingin ditanyakan Clara?” bu Dhea bertanya ramah.
            “Nggak Bu, malah aku tambah ngerti pas ibu nerangin.” Kali ini Clara berbinar-binar, tidak seperti biasanya— dia sangat menikmati les ini.
Setelah memberi latihan dan penjelasan, bu Dhea minta pamit, berhubung sudah dua jam ia berada di rumah Clara. Dan ia akan kembali hari kamis. Jadwal les privat Clara untuk mata pelajaran ini dua kali seminggu. Clara ikut mengantar bu Dhea hingga gerbang depan.
            Sementara Clara sibuk dengan les privatnya untuk persiapan menghadapi ujian, Emon juga tengah bersemangatnya dalam kegiatan yang ia sebut dengan kontribusi terhadap bangsa. Meskipun begitu, sekali-kali ia mampir ke rumah Clara untuk belajar bareng.
            Emon yang di juluki “manketoslima” alias ‘mantan ketua OSIS peduli sesama’ ini, selain aktif di organisasi, dia juga bertanggung jawab terhadap pendidikannya. Dia berjanji, setelah selesai kegiatan ini akan ikut les bareng Clara. Sengaja mereka hanya menambah jadwal les privat untuk satu mata pelajaran ini (fisika), meskipun sebulan mendatang ia juga akan mengikuti bimbingan belajar di sebuah lembaga pendidikan namun rasanya untuk mata pelajaran yang satu ini harus ekstra lebih, biar hasilnya makin oke.
            Kegiatan Emon pun selesai dengan baik berkat kerja sama yang kompak dari tim. Nah, sekarang waktunya Emon untuk menepati janji kepada diri sendiri—belajar. Selain menepati janji itu sebenarnya ada hal lain juga yang membuat semangat Emon menggebu-gebu. Siapa lagi kalau bukan Raisa—teman baru Emon sewaktu aktif di organisasi sepupunya. Kebetulan Raisa juga kelas tiga. Kesamaan misi dan kepedulian terhadap sesama membuat mereka cepat akrab. Tapi ada yang dongkol nih, si Clara malah manyun ketika kali pertama Emon ngajak cewek incarannya ini ke rumah Clara buat les.
            Meskipun perhatian Emon terbagi dua, fisika dan raisa— Emon tetap bisa konsentrasi dalam belajar bahkan soal-soal yang diberikan bu Dhea hampir seratus persen dijawab dengan benar. Clara makin manyun. Bisa-bisanya si Emon ngalahin dia.
            Sabtu sore Emon ngajak Clara buat nemenin nonton. Tapi bukan cuma berdua aja, ada Raisa. Clara baru nyadar pas mobil yang sedang ia tumpangi tiba-tiba-belok ke perumahan Mawar Sari-rumahnya Raisa. Clara jangan di Tanya lagi perasaannya waktu itu, ya pasti bete minta ampun. Tapi mau gimana lagi, ini kan hari ultahnya Emon jadi mesti nahan emosi. Walaupun sebenarnya Emon bisa bersikap adil sih. Maksudnya memperlakukan mereka sama.
Lama-lama, jelas banget kalao Emon ada rasa sama Raisa. Dan ternyata, diam-diam Emon nembak Raisa dan merekapun jadian.  Dan udah seminggu ini Emon gak ikut les di rumah Clara. Pas di sekolah Clara mencoba nanya. Ternyata Emon malah bentak dia, “Lo kepo banget sih! Suka-suka gue dong mau les atau gak!”
Nah sejak saat itulah, status persahabatn mereka mulai luntur. Selama dua bulan gak bicara sedikitpun sama Clara— kecuali kalo ada diskusi kelompok di kelas, itupun cuma sebatas percakapan mata pelajaran, gak lebih— Clarapun jadi sedih karena Emon bersikap begitu.
Sore sore, langit Jakarta bisa dibilang cerah. Di rumah yang megah ini hanya ada Clara dan bi Inem, kesibukan papa dan mama yang luar bisa salah satu penyebabnya. Tapi karena sekarang ada jadwal privat pelajaran fisika di rumah ini bertambah satu orang, bu Dhea. Situasi seperti biasanya, Clara yang menikmati pelajaran fisika dan sesekali mengajukan pertanyaan. Selang beberapa menit HP clara berbunyi, dari Emon. Dan yang bikin Clara panik, suara Emon berteriak minta tolong. Bu Dhea yang melihat Clara jadi pucat langsut mengambil Hp untuk mendengar suara yang membuat anak didiknya ini histeris.
Lima belas menit kemudian, mereka samapai di rumah Emon. Air di lantai, minyak, pecahan kaca, kabel, semuanya terlihat tidak beraturan. Clara ingin langsung berlari ke dalam rumah Emon namun di cegah bu Dhea.
“Tunggu Clara, lantainya basah. Kita harus hati-hati kalau-kalau ada aliran listrik.”
Mereka berdua berjalan di atas kursi seolah-olah sedang menyebrangi sungai.
“Hai, Clara. Akhirnya kamu datang juga. Ayo sini. Kita liat Emon yang sedang kesakitan minta tolong. Oh, atau kamu ingin dianggap sebagai ibu peri, sang penolong atau yang lainnya? Haha, kamu sudah terlambat.” Suara Raisa menggelar hingga seluruh ruangan dan yang membuat Clara  cemas adalah baju Raisa yang terkena cipratan darah.
“Maksud kamu?” Clara syok mendengar ucapan Raisa barusan.
“Tidak,tidak. Dia cuma tertidur. Ayo sini. Tunggu, aku pindahkan dulu kabel ini biar kamu tidak tersetrum, aku tidak ingin melihat kamu mati sekarang.” Raisa mengangkat potongan kabel yang beraliran listrik seperti orang kesurupan.
Clara dan bu Dhea melangkah perlahan mengikuti langkah Raisa.  Sambil terus waspada. Semakin dekat suara itu. Emon, apa kamu baik-baik saja?bathin Clara berbisik.
“Clara, bu Dhea, pergi. Kalian dalam bahaya,” Emon memperingatkan.
Bu Dhea langsung bertindak dan mendorong tubuh Raisa hingga terjatuh ke lantai. Raisa murka, dan melempar tongkat base ball tepat di kepala bu Dhea hingga membuatnya terjatuh. Clara yang melihat kepala bu dhea mengeluarkan darah kini bergulat dengan Raisa. Emon mencoba mengambil sesuatu. Meski tubuhnya tengah terbaring lemah dan darah di dahipun masih terus mengalir akibat pukulan hebat sebuah vas bunga yang dilayangkan Raisa beberapa menit sebelum Clara datang.
Leher Clara berhasil di raih Raisa, Clara tercekat. Bu Dhea bangun dan menarik tubuh Raisa. Sambil menarik tubuh Raisa dengan tenaga sisa, bu Dhea memerintahkan Clara untuk membalut luka emon. Darah yang bercucuran akan mengakibatkan emon kehilangan banyak darah.
Clara segera mengambil kain ke kamar. Meskipun ragu untuk meninggalkan bu Dhea sesaat. Dari ruang tengah ia masuk ke sembarang kamar dan akhirnya menemukan kain yang cocok untuk membalut luka Emon. Dengan sigap ia kembali dan ketika kembali Raisa tengah bersiap melempar kepala bu Dhea dengan hiasan keramik gajah yang sangat besar.
“Jangaaaaaaannn, please Raisa. Jangan lakukan. Aku mohon,” Clara menjerit
“Semua orang yang berada di sini harus mati, kecuali aku” dan ia pun melemparkan sekuat tenaga tepat di kepala bu Dhea. Darah bercucuran.
Clara gemetar dan berlari, tapi ia ingat sesuatu. Setelah membalut kepala Emon, dia memancing Raisa untuk kembali ke ruang tamu.
“Sebenarnya apa yang kamu inginkan Raisa?”
“Aku? Haha, aku ingin Emon. Tapi setelah tau di otaknya sebenarnya hanya ada kamu, kamu dan kamu terus! Aku tidak ingin melihat dia lagi dan juga kamu tentunya!” bentak Raisa.
“Kita hanya sebatas sahabat, gak lebih” Clara terpatah-patah berucap. Sambil melangkah mundur ia memperhatikan jalannya.  
“Gak lebih? Tapi kenapa Emon harus mutusin aku dan meminta aku melupakannya, ha? Pokoknya kamu dan Emon harus pergi dari aku selamanya!”
Clara semakin gemetar,“Iya, kami akan pergi, biarkan kami pergi.” Pinta Clara
“Pergi ke neraka, sayang. Bukan pergi dari rumah ini!” Tangan Raisa meraih vas bunga. Dan berlari ke arah Clara. Dengan sigap Clara menarik kabel yang beraliran listrik yang ia temui saat datang. Ia melompat ke atas kursi dan menaruh kabel itu ke lantai yang tergenang air. Raisapun tak berkutik. Hanya beberapa saat tubuhnya kaku. Clara menangis, tidak menyangka akan melakukan hal ini.  
Ia mengusap air matanya. Teringat akan bu Dhea dan Emon. Emon masih bisa bicara meski tersendat-sendat. Clara langsung menghubungi ambulan. Emon, bu Dhea di bawa ke rumah sakit namun nyawa bu Dhea tidak dapat diselamatkan.sedangkan Raisa meninggal di tempat kejadian karena tersetrum.
Setelah sembuh, mereka berdua ziarah ke pemakaman bu Dhea dan Emon sudah menceritakan semua penyebab kejadian itu. Emon merasa bersalah karena melibatkan orang-orang baik seperti Clara dan bu Dhea. Tapi sebenarnya bukan Emon yang menghubungi Clara, Raisa yang memencet nomor tersebut dan ia memang sengaja membuat jebakan genangan air saat clara datang, namun gagal. Dan belakangan ini diketahui bahwa Raisa adalah seorang psikopat.

Total comment

Author

Triana Irsyad

0   komentar

Posting Komentar

Cancel Reply