Formulir Kontak

 

Terimakasih Teman, Masih Mengingat Namaku Sudah Sangat Cukup

Terimakasih Teman, Masih Mengingat Namaku Sudah Sangat Cukup

Kenapa aku memposting dengan judul di atas, mengingat selama SD hingga SMA ada kisah di balik itu semua dan yang paling unik ada yang “menjual” namaku agar diberi izin untuk pergi acara jalan-jalan sekolah. Terimakasih buat teman-teman yang menceritakan aku sama mama, ibu atau orang terdekat mereka.
Sewaktu SD:  Ketika datang ke rumah salah satu teman mau ngajak bareng pergi mengaji, aku mendengar dari luar rumahnya, temanku Yati bercerita tentang aku—yang ngelawak hari itu di kelas —hingga terdengar  tawa kedua orangtua dan saudaranya. Aku mau ketawa juga sih, tapi terpaksa nahan, takutnya dikira nguping. Well, mungkin waktu itu aku anggap biasa aja.
Sewaktu SMP: Sewaktu SMP ketika menginjakan kaki di kelas 2, teman sebangku-ku Ica bilang, “Ica nyeritain Iya (panggilan akrabku oleh sebagian teman) ke mama Ca.”
“Oh ya?” aku sedikit heran waktu itu, “cerita apa?” tanyaku penasaran.
Dia menjelaskan tentang xxxxx (maaf rahasia,hehe). Tapi kesimpulannya: sesuatu yang aku anggap biasa dan bisa di bilang gak terlalu berarti bagi aku, begitu berharga dan sangat membantu sekali baginya.
Hampir berkali-kali dia bilang soal itu tapi dengan topik yang lain. Dan berkali-kali juga mamanya menitipkan salam untuk aku. Dan sempat terpikir juga untuk main ke rumahnya karena pernah ditawari tapi niat itu aku urungkan. Dulu aku anak rumahan banget soalnya, pulang sekolah langsung menuju rumah—nonton pastinya,hehe.
Pas kelas tiga cerita dari teman yang beda lagi, kita mau mengadakan jalan-jalan sekalian untuk kegiatan akhir karena kita telah selesai melaksanakan UN (Ujian Nasional). Temanku ini anak mami banget, mau ke sini gak boleh ke sana gak boleh, apalagi jalan-jalan yang terkesan hura-hura. Kalau hilang gimana? Kalo terjadi kenapa-napa gimana?? —mungkin itu pertanyaan bertubi-tubi di layangkan kepada dia. Dan suatu pagi dia dengan tampang lusuh bertanya” Tia ikut jalan-jalan sekolah?”
Aku menjawab spontan, “iya, kenapa? Ani?” tanyaku penasaran.
“Gak dibolehin,” jawabnya lemas, “Cara minta izinnya gimana?” Tanyanya serius.
Kalau aku sih karena minta izin jalan-jalannya sekali dalam tiga tahun berkemungkinan besar dikasih izin. Dengan alasan meski aku suka jalan-jalan, aku malas karena tidak terlalu banyak teman yang ikut. “Tapi moment ini berbeda, ini jalan-jalan terakhir  SMP angkatanku, pastinya banyak yang ikut.  Tapi gimana dengan nasib temanku ini?” bathinku.
Sejenak aku berpikir, dan ketemu jawabannya.” Papa Ani kan kenal sama papa Ya, bilang aja gini ‘si Tia dibolehin ikut sama papanya, masak Ani gak boleh?’
Dan berhasil ternyata saudara-saudara, mungkin cara merayunya tidak persis dengan yang aku ajarkan tapi setidaknya memiliki tujuan yang sama yaitu ‘dapat izin’. Haha, setidaknya peranku ada di sini, anak dari bapak Irsyad. Kalau bukan anak beliau tentunya temanku gak bakal dapat izin.
Sewaktu SMA:  Ceritanya hampir sama dengan kejadian diatas, masih dengan orang yang sama. Lagi-lagi menjual nama aku. Well selagi itu baik, ya gak apa-apa.
Sewaktu tamat : seperti yang aku ceritakan di postingan sebelumnya, teman SD-ku yang bernama Agus juga pernah bercerita tentang aku sama ibunya. Kalo mau baca silahkan di sini

Yang dapat aku simpulkan di sini adalah setiap tindakan kita yang berupaya untuk membantu, jangan lihat dari balasannya, tapi tuluslah untuk melakukannya (sok bijak saya).
Makasih teman-teman, setidaknya mengingat namaku saja itu sudah sangat cukup.

Total comment

Author

Triana Irsyad

0   komentar

Posting Komentar

Cancel Reply